REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat untuk lebih aktif mengkritik kinerja pemerintah. Menurutnya, hal tersebut tidak nyambung dengan realitas demokrasi di lapangan.
"Ya masyarakat paling melihatnya itu sebagai sebuah basa-basi yang lucu. Mengapa? ya disatu sisi Jokowi minta dikritik. Tapi kami tidak tahu apakah Jokowi serius atau lip service (basa-basi) saja. Bisa jadi juga dia pura-pura tidak tahu banyak aktivis ditangkapi dan diproses hukum dengan UU ITE karena mengkritik pemerintah," katanya saat dihubungi Republika, Ahad (14/2).
Dia mengatakan, tidak hanya aktivis, orang lain yang menyampaikan pendapat dan mengkritik pemerintah ditangkapi dan diproses hukum melalui UU ITE. "Ini yang dimaksud dengan basa-basi yang lucu," ujarnya.
Sejak awal dalam berbagai kesempatan, dia selalu katakan, kalau pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE seharusnya dicabut. Sebab, UU ITE itu ketika dibuat dengan semangat mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online).
"Itu tidak cocok, ada ketentuan yang mengatur tentang pencemaran nama baik atau ujaran yang menyebabkan permusuhan berdasarkan suku agama ras dan antar golongan. Bisnis kan tidak mengenal agama atau suku. Jadi, justru pasal 28 ayat 2 UU ITE itu justru mengaburkan substansi UU tersebut," katanya.
Lalu, pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE pada praktiknya justru digunakan untuk membungkam suara yang berbeda dan mengkritik pemerintah, pelaksanaan UU ITE ini mengesankan seolah olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik.