Senin 08 Feb 2021 20:12 WIB

Revisi UU Pemilu: Cermin Perbandingan Koalisi Jokowi dan SBY

Potensi gagalnya revisi UU Pemilu dinilai keberhasilan Jokowi mendisiplinkan koalisi.

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (ilustrasi)
Foto:

Fraksi Partai Nasdem di DPR memutuskan untuk tidak melanjutan pembahasan revisi revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu sesuai dengan arahan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

"Karena ada pertimbangan yang lebih besar dalam prespektif pemerintah, disampaikan partai koalisi kami mengikuti yang menjadi keputusan partai," ujar Sekretaris Fraksi Nasdem Saan Mustopa dalam diskusi daring, Senin (8/2).

Lewat keterangan resminya pada Jumat (5/2) lalu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan bahwa Indonesia saat ini tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Untuk itu, ia menilai perlunya menjaga soliditas partai politik koalisi pemerintahan dan bahu-membahu menghadapi pandemi.

"Cita-cita dan tugas Nasdem adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," ujar Surya Paloh lewat keterangan resminya, Jumat (5/2).

Arahan Surya Paloh ini berbeda dengan keinginan Nasdem sebelumnya yang mendukung wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang di dalamnya akan mengatur ketentuan pelaksanaan Pilkada pada 2022 dan 2023. Jika Pilkada digelar 2024 mengacu undang-undang yang ada saat ini, Nasdem menilai, akan banyak melahirkan pelaksana tugas (Plt) kepala daerah yang mambuat hak publik terabaikan.

"Pelayanan publik jadi terganggu. Padahal kebutuhan publik adalah salah satu tanggung jawab utama seorang pemimpin hasil pemilihan,” ujar Wakil Ketua Fraksi Nasdem DPR Willy Aditya lewat keterangannya, Selasa (2/2).

Anggota Komisi II DPR  Mardani Ali Sera menyatakan, bahwa Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mengubah sikapnya terkait dorongan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. PKS masih mendukung agar UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu direvisi.

"PKS masih istiqomah mendukung revisi RUU Pemilu. Karena banyak mudharat jika semua disatukan di 2024," kata Mardani kepada Republika, Senin (8/2).

Dirinya tak persoalkan terkait sikap sejumlah partai yang berubah haluan menolak merevisi UU Pemilu. Menurutnya, setiap partai punya kebebasan dalam menentukan sikap.

"Tapi agak aneh memang karena sudah separuh jalan. Di Panja Komisi II, ada notulennya, kecuali PDIP memberi catatan semua partai setuju untuk melanjutkan pembahasan Perubahan RUU Pemilu ini," ujarnya.

Ia menjabarkan, ada sejumlah alasan mengapa PKS tetap mendukung agar pilkada tetap digelar 2022 dan 2023. Dari sisi penyelenggara, pelaksanaan Pilkada serentak dinilai lebih ringan dan fokus karena beban penyelenggara tidak bersamaan dengan Pemilu serentak 2024.

" 'Pemaksaan' untuk tetap menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada serentak 2024 berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih besar dibandingkan dengan Pemilu serentak 2019," ungkapnya.

Dari sisi pemilih, Mardani menilai informasi yang didapatkan calon pemilih terkait kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah akan lebih memadai karena penyelenggaraan Pilkada serentak tidak berbarengan dengan Pemilu 2024. Selain itu pelaksanaan Pilkada yang dibarengi Pemilu 2024 berpotensi membuat preferensi calon pemilih lebih banyak transaksional dan emosional.

Mardani menambahkan, dari sisi anggaran, efisiensi anggaran yang merupakan tujuan penyelenggaraan Pemilu serentak tidak tercapai. "Sebagai contoh alokasi APBN untuk Pemilu 2019 sebesar 25,12 Triliun, sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya 24,8 Triiliun," tuturnya.

Ia juga menilai menambahkan beban APBN untuk pelaksanaan Pemilu serentak dan Pilkada serentak dapat berpotensi mengganggu pembangunan pembangunan nasional dan daerah pada tahun tersebut. Selain itu pelaksanaan Pilkada yang dibarengi Pemilu juga hanya akan menjauhkan partai dari konstituennya jika cuma digelar sekali dalam lima tahun.

"Plus keberadaan ratusan Plt (pelaksana tugas) yang berbahaya bagi pelayanan publik," ucapnya.

Adapun, Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan, pihaknya akan menyampaikan sikap resmi Partai Demokrat menyoal RUU Pemilu di parlemen mendatang. Menurutnya, hingga saat ini Partai Demokrat menghargai dasar pemikiran masing-masing pihak menyoal rencana revisi itu.

"Hanya, harapan Partai Demokrat, semoga pertimbangan dalam menolak atau menyetujui pembahasan revisi RUU Pemilu, adalah untuk kepentingan perbaikan kualitas tata kelola pemilu di Indonesia,’’ ujar dia kepada Republika, Senin (8/2).

Dia menambahkan, pilihan apa pun yang disetujui mayoritas partai politik dan pemerintah menyoal revisi UU Pemilu, akan dihargai Partai Demokrat. Selama, hasil tersebut adalah opsi terbaik untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia.

"Jangan sampai demokrasi di Indonesia berjalan mundur,’’ tambah dia.

Selama menunggu sikap resmi pihaknya, Demokrat ia sebut akan terus mengingatkan jika demokrasi merupakan proses bersama. Sehingga, semangat kebersamaan antar partai politik di parlemen ia nilai harus berdasarkan nilai-nilai demokrasi Pancasila.

"Itu sebaiknya dikedepankan demi menghasilkan keputusan yang baik bagi masyarakat, bangsa dan negara," tambah dia.

 

photo
Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement