Senin 08 Feb 2021 17:32 WIB

Napoleon Klaim Punya Bukti Rekaman Percakapan dengan Tommy

JPU menolak rekaman pembicaraan Napoleon dan Tommy Sumardi diperdengarkan di sidang.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2/2021).  Sidang lanjutan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dengan agenda pemeriksaan terdakwa terkait kasus  aliran suap dari  Djoko Tjandra yang melibatkan terdakwa.
Foto: ANTARA FOTO/ Reno Esnir
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2/2021). Sidang lanjutan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dengan agenda pemeriksaan terdakwa terkait kasus aliran suap dari Djoko Tjandra yang melibatkan terdakwa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa perkara dugaan suap penghapusan red notice, Irjen Napoleon Bonaparte, mengklaim memiliki rekaman percakapan antara dirinya dan Tommy Sumardi saat berada di sel tahanan. Rekaman itu disebut merupakan bukti fakta terkait perkara tersebut.

Napoleon mengungkapkan kepemilikan rekaman itu dalam sidang lanjutan dirinya dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/2). Awalnya, pengacara Napoleon, Santrawan T. Paparang menanyakan pertanyaan kepada kliennya ihwal ada tidaknya pertemuan dengan Tommy Sumardi.

Baca Juga

"Apakah saudara pernah bertemu Tommy Sumardi pada 14 Oktober 2020?" tanya Santrawan.

"Ya, ada," jawab Napoleon

Pengacara Napoleon itu pun meminta izin kepada majelis hakim untuk mendengarkan dan melihat rekaman itu. Namun, penuntut umum langsung menyelak dengan mempertanyakan sumber bukti rekaman tersebut.

"Mohon izin yang mulia barangkali dijelaskan terlebih dahulu bagaimana bisa mendapatkan rekaman tersebut dan segala macam. Sesuai dengan Perma," kata Jaksa Erianto.

Keberatan Jaksa disampaikan lantaran jaksa menilai cara Napoleon mendapat rekaman itu dilakukan secara ilegal dan tak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Padahal rekaman tersebut diklaim kubu Napoleon sebagai bukti fakta terkait perkara suap penghapusan red notice Djoko Tjandra.

"Maksud dari pertanyaan kami yang mulia, ketika putusan Perma Nomor 20 Tahun 2016 terkait informasi atau dukungan elektronik untik sebagai barang bukti, maka harus dipastikan dan diperiksa terlebih dahulu," terang jaksa.

Melihat sikap penuntut umum, pengacara Napoleon menjelaskan perihal isi dari rekaman itu. Pengacara menyebut, percakapan antara Napoleon dan Tommy Sumardi itu direkam saat mereka berada dalam sel tahanan.

"Kondisinya kami jelaskan, pada tanggal 14 Oktoer 2020, terdakwa berada di dalam tahanan, Tommy Sumardi berada di dalam tahanan, dan Irjen Pol Prestijo juga berada di dalam tahanan," terang Santrawan.

Hanya saja, tak dijelaskan secara rinci soal asal-usul rekaman tersebut. Pun tak disampaikan apakah rekaman itu berkaitan dengan perkara dugaan suap penghapusan red notice atau tidak.

"Secara kebetulan, bertemulah mereka pada saat itu, dan tanpa diduga-duga, terjadilah rekaman itu. Makanya mohon izin, untuk melakukan penilaian, kami rasa saudara jaksa penuntut umum tidak bisa menilai, makanya kami serahkan kepada yang mulia, karena ini adalah fakta, persoalan diterima atau tidak kami serahkam kepada yang mulia," sambung Santrawan.

Namun, Jaksa tetap bersikukuh menolak rekaman percakapan ketiga terdakwa tersebut diperdengarkan di ruang sidang karena belum menjadi alat bukti. Ketua Majelis Hakim, Muhammad Damish memutuskan tidak memutar rekaman tersebut, namun meminta rekaman percakapan tersebut untuk didengarkan dan dianalisis oleh para hakim.

"Bagaimana kalau diserahkan ke Majelis Hakim agar didengar dan dianalisa," kata Hakim Damis.

Dalam perkara ini, Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dollar AS dan 270 ribu dolar AS. Suap tersebut bertujuan untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice interpol Polri, karena saat itu Djoko Tjandra masih berstatus DPO dalam kasus hak tagih Bank Bali.

photo
Djoko Tjandra - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement