REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan mengaku tak heran dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebut 51 persen publik dari kalangan pelaku usaha dan pemuka opini tidak puas dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Novel, hal tersebut imbas dari pelemahan lembaga antirasuah.
"Ketika KPK dilemahkan, pasti kinerja pemberantasan korupsi akan terganggu. Ketika kinerja KPK menurun dan praktik korupsi kian banyak, maka masyarakat akan semakin tidak puas dengan kinerja KPK dalam memberantas korupsi," kata Novel dalam keterangannya, Ahad (7/2).
"Tapi yang perlu masyarakat tahu adalah, pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah dalam hal ini presiden," tambahnya.
Menurut Novel, sesungguhnya pemerintah bisa menggunakan organ apa saja untuk memberantas korupsi, diantaranya KPK. Oleh karenanya, sambung Novel, bila KPK dilemahkan, maka yang perlu diketahui adalah apa rencana pemerintah selanjutnya dalam memberantas korupsi.
Sebanyak 51 persen publik dari kalangan pelaku usaha dan pemuka opini tidak puas dengan kinerja KPK.
"Kepuasan terhadap kinerja KPK saat ini terbelah, yang puas dengan kinerja KPK sekitar 48 persen, yang tidak puas 51,1 persen," kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam konferensi pers daring, Ahad (7/2).
Dalam survei LSI, kelompok akademisi lebih banyak menilai sangat puas dengan kinerja KPK. Begitu juga dengan kelompok zona Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jogjakarta.
Sementara itu, kelompok ormas dan media massa, kemudian zona Sumatra, DKI Jakarta dan Jawa Timur kebanyakan menilai tidak puas atau sangat tidak puas dengan kinerja KPK.
"Mayoritas pemuka opini menilai KPK sangat baik/baik dalam menjalankan tugas-tugasnya. Yang paling rendah dinilai adalah kinerja KPK dalam tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi," kata Djayadi.
Masih dalam hasil survei, lembaga antirasuah menjadi lembaga yang paling efektif melakukan upaya pemberantasan korupsi. KPK dinilai paling efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi.
"Yang paling banyak ialah, KPK, kemudian ORI, BPK, Presiden, BPKP dan Mahkamah Agung. Sedangkan lembaga lain lebih rendah yakni Kejaksaan Agung, Polisi, Pemerintah Daerah dan DPR/DPRD," ungkap Djayadi.
Adapun dalam menghimpun data, pemuka opini yang menjadi responden survei ini sebanyak 1.008 orang dari 36 kota di Indonesia. Responden dipilih karena dikenal sebagai intelektual, tokoh yang memiliki wawasan politik, hukum, atau ekonomi luas, mengikuti perkembangan politik nasional secara intensif, menjadi narasumber media massa, atau aktif terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan, atau organisasi.
Responden datang dari tiga latar belakang, yakni akademisi, LSM/Ormas, dan media massa. Karena tidak tersedianya data populasi Pemuka Opini, maka pemilihan responden tidak dilakukan secara random.
"Pemilihan responden dilakukan secara purposif, terutama dicari dari media massa nasional atau daerah," terang Djayadi.