REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Agraria Fakultas Hukum UGM, Dr Rikardo Simarmata, menyambut baik digitalisasi sertifikat tanah elektronik. Ia menilai, sertifikat elektronik akan memudahkan masyarakat mengurus hak milik atas tanah dari sisi waktu dan anggaran.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Dalam Permen tersebut, sertifikat menggunakan hash code, QR Code dan single identity.
Rikardo melihat, program sertifikat elektronik ini menjalankan amanat PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun, tujuan paling pentingnya mempermudah birokrasi dalam pengurusan sertifikat tanah melalui kemajuan teknologi informasi digital.
Ia melihat, program ini tidak cuma menjadi bagian inovasi dalam memanfaatkan teknologi. Program sertifikat elektronik ini mampu mencegah praktek kolusi dan korupsi dalam setiap pengurusan sertifikat tanah dan munculnya sertifikat ganda.
"Selain hanya cukup isi form di internet, menghindari tatap muka (saat pandemi) dan mencegah praktik kolusi," kata Rikardo lewat siaran pers yang diterima, Jumat (5/2).
Program sertifikat elektronik dilakukan secara bertahap. Sebab, ada lebih dari 500 kantor pertanahan di Indonesia yang belum sepenuhnya siap menjalankan program ini lantaran adanya kendala infrastruktur di masing-masing daerah.
Menurut Rikardo, salah satu tantangan dalam pelaksanaan program ini tidak lain memberikan edukasi ke masyarakat. Utamanya, terkait pola kebiasaan menyimpan surat-surat berharga secara fisik dengan beralih kepada surat elektronik.
"Membiasakan mereka dari memegang surat secara fisik ke sesuatu yang sifatnya tidak terlihat," ujar Rikardo.
Sertifikat elektronik, Rikardo menambahkan, tidak mengurangi nilai harga tanah bila jadi agunan pembiayaan di perbankan. Namun, ia menyarankan agar pemilik sertifikat tidak sembarang menyebar hash code, QR Code dan single identity.