REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat menyatakan sebanyak 500 desa masuk ke dalam kategori potensi bencana hidrometeorologis atau bencana yang dipengaruhi atau diakibatkan oleh cuaca dengan tingkat kerawanan yang tinggi.
"Jadi ke-500 desa itu tersebar di hampir di seluruh wilayah kabupaten/kota di Jabar. Hampir ada di seluruh kota/kabupaten namun yang paling banyak di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor karena disesuaikan dengan jumlah wilayah kecamatan dan desanya, paling banyak di sana," kata Kepala Pelaksana Harian BPBD Provinsi Jawa Barat Dani Ramdan.
Dani menuturkan di bagian timur Jabar, daerah yang masuk 500 desa rawan bencana hidrometeorologis ialah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu sedangkan di bagian utara ialah Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, dan Bekasi.
Menurut dia untuk mengantisipasi dampak dari bencana tersebut, BPBD Jabar telah bergerak untuk membuat desa tangguh bencana dan hingga akhir Januari 2021 sedikitnya 250 desa telah dibekali konsep dan peralatan untuk menghadapi bencana.
"Sejauh ini sudah kita bangun baru 250-an, setengahnya. Kita akan buat percepatan untuk 250 desa yang lain dengan program fast track, kalau standar Destana BNPB itu ada 16 indikator, nah untuk kondisi saat ini minimal ada tiga indikator dulu, ada satgas, ada peralatan yang stand by dan anggaran yang tersedia," kata dia.
Dengan itu ada indikator yang keempat yaitu indikator pelatihan bagi masyarakat paling tidak tokoh dan relawan pemuda. Indikator lainnya, kata Dani, ialah harus membuat peta rawan bencana di level desa, harus membuat jalur evakuasi, dan rambu evakuasi harus membuat tempat evakuasi.
"Dan kalau Destana reguler selengkap itu, sekarang tiga indikator satgas, peralatan dan anggaran kalau ada anggaran apapun bisa dilakukan, nah anggaran bencana itu yang biasanya tidak tersedia, makanya beberapa bupati membuat Perbup, terkait anggaran untuk bencana dalam APBDes," ujar Dani.
Ia mengatakan mitigasi sederhana bisa dilakukan di tingkat desa, salah satunya dengan memeriksa saluran air untuk memastikan tak ada yang tersumbat atau memeriksa tebing-tebing apakah ada keretakan yang berpotensi longsor.
Pihaknya menekankan kembali mengenai periode golden time untuk meminimalisasi terjadinya korban jiwa dalam sebuah kejadian bencana alam. Periode yang dimaksud ialah nol sampai tiga puluh menit terjadinya bencana dan 34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu yang dibentuk oleh pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan dalam melakukan evakuasi.
Faktor lainnya, lanjut dia, ialah diberikan oleh pertolongan orang-orang terdekat, yakni anggota keluarga yang memiliki kemampuan dan rencana kontijensi yang dilatihkan jika terjadi bencana.
"Jadi faktor ini menyumbang 31 persen. Kemudian 17 persen dari pertolongan komunitas baik RT, RW atau lingkungan setempat. Peran BPBD, Tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja, karena pada saat golden time mereka tidak berada persis di tempat bencana," katanya.