REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendeteksi paham dan gerakan radikalsme-intoleransi yang menginfiltrasi di setiap sektor kehidupan masyarakat tentunya cukup rumit. Karena itulah, deteksi dini terhadap radikalisme harus dibangun secara semesta dengan melibatkan masyarakat. Untuk itu perlu peran masyarakat dan ketahanan sosial dalam melakukan deteksi dini terhadap potensi radikalisme dan intoleransi.
Guru Besar Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Prof Iwan Gardono Sujatmiko, mengatakan di sekolah, tempat kerja dan organisasi sudah harus ada aturan-aturan, untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan radikalisme dan intoleransi itu.
"Aturan-aturan internal ini perlu merujuk pada perundang-undangan yang berlaku sehingga akan efektif jika ada pelaku tindakan radikal dan intoleransi ini. Pencegahan secara semesta atau pagar betis akan efektif jika telah ada dan jelas para pelaku tindakan radikal negatif tersebut sudah melanggar ideologi dan konstitusi seperti dalam kasus konflik separatis bersenjata yang didasarkan agama atau etnik," ujar Prof Iwan Gardono di Jakarta, Senin (2/2).
Lebih lanjut Prof Iwan mengatakan bahwa, upaya untuk melakukan deteksi dini radikalisme oleh masyarakat merupakan masalah yang kompleks. Untuk mengatasi hal ini perlu optimalisasi peran negara dan peningkatan Ketahanan Sosial. "Penangkalan radikalisme-kekerasan dan potensi terorisme ini tentunya berbeda dengan penangkalan kejahatan kriminal biasa, maka perlu definisi yang jelas untuk itu," tuturnya.
Menurutnya, perlu dijelaskan juga kepada publik apa saja dan siapa saja yang bisa masuk kategori radikalisme tersebut. Sehingga publik nantinya akan mudah memahami kalau suatu tindakan tertentu berpotensi radikal khususnya yang ada kekerasan tersebut memang melanggar hukum dan jelas sanksinya dalam pasal dan ayat yang mana," katanya.
Karena deteksi dini untuk menangkal radikalisme tersebut apalagi jika pemahamannya berbeda atau bertentangan justru dapat menimbulkan kecurigaan, ketidak percayaan (distrust), atau fitnah yang dapat merusak modal sosial dan budaya komunitas tersebut. "Karena mayoritas warga tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk menduga apakah seseorang mempunyai potensi radikalisme atau terorisme," tuturnya.
Namun demikian ada pula masyarakat yang kurang peduli terkait upaya me;akukan deteksi dini tersebut. Menurut Prof Iwan hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan: Pertama, tiadanya kejelasan peta peran mereka dalam mengatasi masalah intoleransi, radikalisme-kekerasan, dan potensi menjadi terorisme.
"Mayoritas dari mereka telah disibukkan dengan kehidupan sehari-hari dan saat ini mereka fokus pada masalah Covid-19 dan implikasi ekonomi dan sosialnya," katanya.
Kedua, masyarakat secara umum melihat bahwa upaya menangkal radikalisme-kekerasan ini merupakan tugas utama pemerintah dan aparat keamanan. "Hal ini dianggap berbeda dengan berbagai organisasi masyarakat telah aktif berperan menjaga keamanan seperti Kelompok Keamanan lingkungan atau ronda. Model seperti ini lebih dianggap berguna karena menyangkut langsung keselamatan jiwa dan harta warga," ujarnya.