Rabu 03 Feb 2021 17:23 WIB

Zaim Saidi yang Baru Ditangkap Sekarang oleh Polisi

Penangkapan Zaim Saidi akibat transaksi dinar dirham dianggap kurang bijak.

Seorang warga melintas depan ruko pasar muamalah yang disegel polisi di Tanah Baru, Depok, Jawa Barat, Rabu (3/2/2021). Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap pendiri Pasar Mualamah Zaim Saidi dan menyegel ruko yang digunakan sebagai tempat transaksi pembayaran menggunakan koin dinar, dirham, dan emas.
Foto:

Dalam wawancara dengan Republika di tahun 2016, Zaim memaparkan alasannya menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar. Katanya, seperti diketahui uang kertas tidak memiliki nilai selain nominal yang tertera di atasnya.

Zaim mencontohkan, gaji pegawai yang seolah mengalami kenaikan tidak turut meningkatkan daya beli. Lain halnya dengan dinar yang masih bisa untuk ditukarkan dengan kambing. "Pegang rupiah kita makin miskin, pegang emas kita selamat dari kemiskinan. Itulah riba," ujar Zaim menjelaskan.

Selain mengembalikan sunah, penggunaan dinar dan dirham juga mengurangi riba karena tidak bertransaksi dengan uang kertas. Uang kertas dianggap riba karena semuanya terbuat dari bahan kertas namun hanya dibedakan dari angka yang tertera.

Uang kertas tidak memiliki nilai, dirobek uang tersebut sudah tidak berlaku. Lain halnya dengan dirham dan dinar. "Dalam Islam, uang itu mesti punya nilai, nilainya bukan karena angka nominal," ujar dia.

Bahkan saat ini transaksi internasional dilakukan secara elektronik, dengan menggunakan sistem digital dengan hanya memasukkan nominal angka. Padahal, semestinya harta ditukar dengan harta yang lebih baik dilakukan dengan dinar dan dirham.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, mengingatkan soal kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti diatur UUD 1945 dan UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

”Seiring adanya indikasi penggunaan alat pembayaran selain rupiah masyarakat, Bank Indonesia menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 23B UUD 1945. Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujarnya dalam keterangan resmi.

Pasal 23 B dalam UUD 1945 berbunyi macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan Pasal 21 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dijelaskan sebagai berikut:  

(1) Rupiah wajib digunakan dalam

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Adapun soal sanksi dan ketentuan pidana penjara hingga denda atas pelanggaran pasal tersebut, diatur dalam Pasal 33 pada undang-undang yang sama. Bunyinya:

(1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta

Maka itu, Bank Indonesia mengingatkan masyarakat berhati-hati dan menghindari penggunaan alat pembayaran selain uang rupiah bukan merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI. “Bank Indonesia mengajak masyarakat dan berbagai pihak untuk menjaga kedaulatan rupiah sebagai mata uang NKRI," ucapnya.

photo
Dinar dan dirham. - (Republika/Agung Supriyanto)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement