REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur, Andriyanto menyarankan tidak diberlakukannya hukuman penyitaan KTP elektronik bagi pelanggar protokol kesehatan. Menurutnya, penyitaan KTP elektronik inkonstitusional atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan berpotensi mengambil hak warga negara.
"Kalau bisa tidak disita. Karena pada prinsipnya, KTP elektronik itu adalah kartu identitas penduduk yang secara konstitusi diatur Undang-Undang Kependudukan. Fungsinya untuk mendapatkan pelayanan publik," ujarnya ketika dikonfirmasi pada Rabu (3/2).
Andriyanto mengatakan, KTP Elektronik yang diberikan kepada masyarakat menjadi salah satu syarat administratif agar yang bersangkutan bisa menerima berbagai layanan publik. Seperti memperoleh bantuan sosial pendidikan, mendapatkan pelayanan perbankan, dan urusan-urusan lainnya.
"Sehingga kalau KTP ini disita, masyarakat akan mengalami kesulitan dalam menuntut pelayanan publiknya. Dikhawatirkan juga, masyarakat itu menjadi meremehkan untuk mengambil itu," kata dia.
Andriyanto melanjutkan, banyak alasan yang membuat masyarakat enggan mengambil KTP yang disita. Misalnya, tidak kuat membayar denda atau merasa ribet di tengah banyaknya kesbikuan lain.
Bahkan, bukan tidak mungkin masyarakat memilih untuk membuat KTP elektronik baru, dengan berbagai alasan. "Dia akan mencoba datang ke Dukcapil untuk memperbarui KTP-nya, mungkin bisa dengan alasan hilang, yang notabene, Insya Allah relatif mudah meminta surat kehilangan dari kepolisian," ujarnya.
Selain itu, lanjut Andriyanto, ketika KTP itu disita atau menjadi jaminan, malah akan membebani Satpol-PP dalam hal menyimpan KTP milik masyarakat. Karena bisa jadi, lebih dari tujuh hari, masyarakat masih enggan mengambik KTP-elektroniknya yang disita.
Andriyanto mengatakan, dalam Undang-Undang Kependudukan memang tidak diatur secara spesifik larangan penyitaan KTP-elektronik. Apalag,i bila kebijakan itu sudah dilandasi sejumlah aturan seperti Peraturan Bupati, Wali Kota, atau Peraturan Daerah.