Selasa 02 Feb 2021 19:01 WIB

Siasat Baru Pemerintah, Bentuk Posko Covid-19 Tingkat Desa

Posko Covid-19 bekerja mulai dari menguatkan 3T hingga mengawasi pasien isolasi.

Sejumlah personel Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang menegur dan mendata pedagang yang kedapatan mengabaikan protokol kesehatan di Serang, Banten, Selasa (2/2/2021). Pemerintah pusat menggagas ide pembentukan posko Covid-19 tingkat desa dan kelurahan untuk bantu menekan dan mengawasi kasus Covid-19 di wilayahnya masing-masing.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Sejumlah personel Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang menegur dan mendata pedagang yang kedapatan mengabaikan protokol kesehatan di Serang, Banten, Selasa (2/2/2021). Pemerintah pusat menggagas ide pembentukan posko Covid-19 tingkat desa dan kelurahan untuk bantu menekan dan mengawasi kasus Covid-19 di wilayahnya masing-masing.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Rr Laeny Sulistyawati

Pemerintah mengambil siasat baru untuk pengendalian pandemi. Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 segera mengaktifkan pos komando (posko) yang tersebar di tingkat desa dan kelurahan seluruh Indonesia. Lurah dan kepala desa pun didapuk memimpin posko yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam penanganan Covid-19.

Baca Juga

Pembentukan posko ini merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menilai pelaksanaan PPKM sejak 11 Januari 2021 tidak cukup efektif menekan laju penularan Covid-19. Dengan membentuk posko yang beranggotakan unsur pemda, TNI, Polri, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan meningkat.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengungkapkan, beberapa fungsi posko antara lain mendorong perubahan perilaku di masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan dan memberikan layanan kepada masyarakat. Posko juga berperan sebagai pusat kendali informasi sekaligus menguatkan pelaksanaan 3T (tracing, testing, treatment) hingga tingkat RT/RW.

Petugas posko, imbuh Wiku, juga akan membantu fasilitas kesehatan setempat dalam menjalankan pelacakan (tracing), sekaligus membantu masyarakat yang ingin mengakses pemeriksaan (testing). "Diharapkan petugas di wilayah masing-masing dapat membantu warga yang butuh perawatan atau surat rujukan dari tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas setempat," kata Wiku.

Selain itu, peran posko yang juga menyentuh RT/RW juga mencakup pemantauan kasus Covid-19 yang terjadi di permukiman setempat. Petugas posko akan ikut mengawasi pasien yang melakukan isolasi mandiri, baik di rumah atau fasilitas isolasi yang didirikan perangkat desa atau pemda.

Posko, ujar Wiku, juga diharapkan nantinya tidak hanya bertugas mengatasi Covid-19. Posko bisa menjadi langkah mitigasi bencana di beberapa daerah yang memiliki potensi kebencanaan tinggi seperti banjir dan gempa bumi.

Posko di tingkat desa dan kelurahan masih belum diketahui kapan akan mulai berlaku dan kepastian rinci lainnya. Upaya ini diharapkan namun bisa menurunkan kasus Covid-19 di saat kebijakan PPKM dipandang tidak efektif.

Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan PPKM jilid I pada 11-25 Januari 2021 lalu terungkap masih banyak masyarakat abai protokol kesehatan. Satgas juga menjaring fakta bahwa tingkat mobilitas warga masih saja tinggi.

"Selama pemberlakuan PPKM jilid I, masih banyak ditemukan masyarakat yang belum patuh terhadap prokes 3M, termasuk masih banyak melakukan mobilitas yang keduanya dapat meningkatkan risiko penularan," kata Wiku.

Sebagai tindak lanjut atas evaluasi pelaksanaan PPKM, Wiku memastikan bahwa pemerintah terus mengkaji berbagai opsi kebijakan yang bisa menekan kasus positif Covid-19. Kendati begitu, Wiku kembali menekankan bahwa strategi terampuh untuk memutus rantai penularan adalah penerapan protokol kesehatan.

"Hal terpenting yang harus dilakukan kita untuk kurangi kasus positif adalah dengan disiplin patuhi prokes 3M sehingga risiko penularan dpaat diminimalisir sekaligus lindungi diri dan orang terdekat dari penularan," kata Wiku.

Diberitakan sebelumnya, hasil evaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di 77 kab/kota di 7 provinsi Jawa dan Bali memberi kesimpulan bahwa dampak dari pelaksanaan PPKM belum terlihat secara signifikan. Satgas menyebutkan, perbaikan seluruh indikator penilaian bisa terlihat setidaknya pada awal Februari ini.

Wiku mengungkapkan, ada lima indikator yang dilihat sebagai tolok ukur pelaksanaan PPKM. Kelimanya adalah penurunan kasus aktif, penurunan tren kematian, peningkatan tren kesembuhan, penurunan angka keterisian tempat tidur RS (BOR/Bed Occupancy Ratio), dan peningkatan tren kepatuhan protokol kesehatan.

Dilihat dari indikator tren kasus aktif, Satgas mencatat bahwa dari 77 kabupaten/kota yang menjalankan PPKM, sebanyak 64 kabupaten/kota di antaranya mengalami peningkatan kasus aktif. Peningkatan terutama terjadi di Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Bali. Tentu ini menjadi sinyal perburukan.

Sementara dari aspek tren kasus kematian, ada 54 kabupaten/kota yang mengalami penurunan angka kematian. Untuk aspek kasus kesembuhan, tercatat ada 21 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan angka kesembuhan.

"In berbanding lurus dengan peningkatan persen kasus aktif. Secara umum tren angka kesembuhan menurun," kata Wiku.

Sedangkan jika dilihat dari aspek angka BOR, tercatat ada 47 kabupaten/kota di Jawa-bali yang mengalami penurunan BOR. Secara umum, kabupaten/kota yang melaksanakan PPKM di Banten, DKI, Jateng, dan Jatim mengalami penurunan persentase BOR pada masa PPKM.

"Namun angkanya masih perlu ditekan agar bisa lebih rendah dari 70 persen," ujar Wiku lagi.

Sedangkan terkait kepatuhan protokol kesehatan di 77 daerah pelaksana PPKM, Wiku menyebutkan ada peningkatan persentase jumlah orang yang ditegur lantaran abai menjalankan protokol kesehatan. Tentu hal ini menunjukkan masih lemahnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.

Pandemi yang sudah berjalan hampir setahun di Indonesia telah mengakibatkan kelelahan yang teramat besar pada tenaga kesehatan. "Masalah mendasar nakes tingkat global per Januari 2020 hingga Januari 2021 adalah kelelahan atau burn out yang besar sekali. Ini berat untuk nakes," ujar Bidang Perlindungan Tenaga Kesehatan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Mariya Mubarika, saat mengisi konferensi virtual BNPB, Selasa (2/2) sore.

Dia menambahkan, hasil riset yang pihaknya kumpulkan menunjukkan bahwa 95 persen tenaga kesehatan mengalami kecemasan tertular. Ia menambahkan, tenaga kesehatan bisa mengalami stres dan trauma karena awalnya bingung apa yang sedang dihadapi, hingga virus yang tidam jelas.

Kini, seiring berjalannya waktu, ia mengakui nakes bisa jelas memahami dan tahu cara menghindarinya termasuk mencuci tangan atau memegang wajah. Namun, dia melanjutkan, kini nakes menghadapi masalah baru, termasuk mutasi virus.

Ia mengakui, persoalan inilah yang membuat mayoritas nakes merasa ketakutan bisa tertular. Bahkan, dari 49 persen dari nakes yang merasa cemas tersebut masuk dalam fase gejala sedang-berat. Ini terlihat saat melihat indikator mimpinya dan keluhan-keluhannya.

Dia khawatir kecemasan ini sangat berdampak pada pelayanan kesehatan. "Kenapa? Ketika nakes terpapar, mereka dalam kondisi stres di tubuhnya. Itulah kenapa nakes yang terpapar cepat masuk fase sedang dan berat kemudian masuk ruang ICU namun banyak yang tidak tertolong," ujarnya.

Ia menambahkan, nakes yang terinfeksi virus ini berasal dari profesi dokter, perawat, bidan, laborat, radiologi, hingga dokter gigi. Menurutnya, banyak dokter gigi yang terinfeksi Covid-19 karena harus menangani pasien yang harus buka masker.

Tenaga kesehatan berbeda dengan masyarakat saat menghadapi virus ini. "Kalau masyarakat harus menjauhi kerumunan, masyarakat harus menjauhi orang-orang yang positif terinfeksi virus ini. Sementara kalau dokter, bidan, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya malah harus menjemputnya," katanya.

photo
Menurunnya zona merah diikuti melonjaknya zona oranye di Indonesia - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement