REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Setara Institute Halili Hasan berharap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memperbaiki internal Kepolisian agar tak salah ketika menangani kasus intoleransi. "Dalam beberapa kasus yang sesungguhnya itu paling bermasalah adalah keberpihakan. Jadi, standing position aparat pada banyak kasus sering tidak pada tempatnya," kata Halili dalam keterangannya di Jakarta, Ahad (31/1).
Ia mencontohkan kasus intoleransi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Ia menyebut Kepolisian justru ikut-ikutan menyegel tempat ibadah ketika seharusnya mereka memberikan perlindungan dengan memegang prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
"Sehingga mereka ketika mendapati kelompok intoleran itu persekusi, kelompok minoritas yang menjadi korban harusnya kan negara berpihak melindungi mereka," ujar Halili.
Ia mengatakan, kepolisian juga kerap salah memproses hukum dalam kasus intoleransi. Menurutnya, kepolisian bukannya menindak penyerangan terhadap kelompok minoritas, melainkan memproses pimpinan kelompok minoritas tersebut.
Kasus tersebut, kata dia, terjadi di Sampang, Jawa Timur. Ia menyebut kelompok Syiah di Sampang mendapat penyerangan dari kelompok minoritas, mulai dari perusakan rumah ibadah hingga menewaskan anggota tersebut.
"Tetapi Haji Muluk (pemimpim kelompok Syiah di Sampang) dibawa ke pengadilan dengan pasal penodaan agama. Ini kan problematik ketika misalnya minoritas jadi korban persekusi kelompok intoleran, aparat berkecenderungan untuk melakukan semacam reviktimisasi," kata Halili.
Meskipun demikian, ia optimistis Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat membawa harapan yang lebih baik untuk penegakan hukum terhadap kelompok intoleran. Ia pun meminta Polri juga tak ragu menindak kelompok-kelompok intoleran yang menyerang minoritas.
"Tetapi kita juga harus ingatkan di tengah optimisme itu agar yang bersangkutan tidak melampaui kewenangan," ujar dia.