REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus positif Covid-19 di Indonesia masih tergolong tinggi. Oleh karena itu, Lembaga Think Tank Bidang Pembangunan Kesehatan Center of Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) ikut membantu pemerintah melakukan pelacakan kontak erat Covid-19 yaitu dengan mengaktifkan surveillans berbasis masyarakat (SBM).
Direktur Program CISDI Egi Abdul Wahid mengatakan, penyelesaian pandemi ini tidak bisa hanya dilakukan satu pihak melainkan harus melibatkan semua komponen. Tingginya kasus Covid-19 di Tanah Air membuat pihaknya menyadari tenaga kesehatan (nakes) di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) punya beban yang sangat besar untuk melakukan kegiatan pelacakan kontak erat karena mereka harus menelusuri hingga 20 kontak erat per hari.
"Kami melibatkan masyarakat kemudian mengaktifkan surveilans berbasis masyarakat (SBM). Kami latih kader dengan usia tertentu dibawah 35 tahun dan pendidikan tertentu untuk memudahkan mereka belajar," ujarnya di konferensi virtual bertema Vaksin bukan Satu-satunya. Apa yang Perlu Dibenahi dari Sistem Kesehatan?, Sabtu (30/1).
Ia menjelaskan, pandemi virus ini menginfeksi orang sehingga masyarakat atau orang yang dekat dengan kehidupan mereka harus dilibatkan. Kemudian, dia melanjutkan, para kader SBM ini membantu nakes puskesmas untuk ikut melakukan surveillans. Tak hanya SBM, pihaknya juga mendorong aparat RT/RW bisa ikut mengelola pendataan kontak erat, termasuk penduduk yang belum memiliki kartu identitas.
Selain itu, pihaknya juga meminta puskesmas melakukan kolaborasi dengan organisasi profesi secara intensif. Sehingga, ketika ada kasus tertentu maka puskesmas bisa melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) kemudian merekrut kader untuk melakukan penelusuran kontak.
"Oleh karena itu, puskesmas sebagai garda terdepan juga harus mendapatkan komitmen atau investasi lebih karena semua program (pelacakan) ada di puskesmas. Dengan beban yang tinggi, kita harus bisa mengoptimalkan dan mendukung peran mereka," kata dia.