Rabu 27 Jan 2021 14:32 WIB

Eks HTI Dilarang Ikut Pilpres dan Pileg Dianggap Berlebihan

Johannes Tuba Helan menilai, bisa saja anggota HTI saat ini jadi orang baik.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan aksi di Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan aksi di Bundaran HI, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Johannes Tuba Helan menilai, larangan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk mengikuti kontestasi pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) sesuatu hal yang berlebihan.

"Menurut saya dari segi negara hukum dan demokrasi kita larangan terhadap eks anggota HTI ikut mencalonkan diri dalam pemilihan itu berlebihan karena ini seperti menghukum mereka berulang-ulang," kata Johanes di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (27/1).

Pendapat itu disampaikan menanggapi adanya klausul dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu terkait eks anggota HTI dilarang ikut dalam kontestasi pesta demokrasi. Dosen Fakultas Hukum Undana itu mengatakan, orang yang sebelumnya bergabung dengan HTI bisa saja tidak merasa organisasi tersebut berbahaya, karena semula ada izin pendiriannya.

Dengan demikian, sambung dia, ketika HTI dibubarkan dan ada eks anggota yang memilih untuk ikut bertarung dalam kontestasi pemilihan, tidak perlu dilarang. Menurut Johanes, eks anggota HTI saat ini mungkin saja juga sudah berubah menjadi orang yang baik dan taat terhadap konsensus berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, hak-hak politik yang sebenarnya dijamin konstitusi itu tidak boleh terlalu dikekang seolah-olah bahwa mereka itu orang-orang buangan yang sama sekali tidak pantas menduduki jabatan. "Jadi, jangan mereka seperti dihukum berulang-ulang karena pada akhirnya rakyat sendiri yang memilih atau tidak memilih mereka," kata Johanes.

Di sisi lain, kata Johanes, eks anggota HTI sekalipun tidak serta-merta lolos mencalonkan diri dalam sebuah kontestasi pemilihan. Karena mereka masih melewati seleksi, baik lewat partai politik maupun di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Seleksi ini kan terkait juga dengan kesetiaan dan ketaataan terhadap Pancasila, UUD NRI Tahun 45, dan sebagainya. Jika ditemukan masih berideologi lain yang bertetangan, bisa digugurkan pencalonannya," kata Johanes.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement