Sementara itu, Ketum Pemalni Slamet Santoso menuturkan, banyak pelaku usaha di DIY terdampak akibat diberlakukannya PTKM. Terutama bagi pedagang kaki lima (PKL). Mereka bahkan harus mencari alternatif pekerjaan lain guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Sangat berdampak pada kami yang sangat tergantung pada sektor pariwisata. Sampai sekarang itu ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sekian bulan meraba hidupnya (akibat pandemi) dan juga diterapkan PTKM di Jawa-Bali," kata Slamet.
Ia menyebut, berkurangnya pengunjung masuk Malioboro akibat pandemi menyulitkan pedagang mencari nafkah. Dengan adanya PTKM, kondisi pedagang malah semakin kritis.
Bahkan ada berapa pedagang kata dia yang memilih tidak berjualan. Hal ini mengingat biaya operasional lebih besar daripada pendapatan didapat selama pandemi dan PTKM.
"Tetap ada yang buka walaupun satu pekan berjualan hanya dua hari yang laku dan lima harinya kosong. Tidak menjual sama sekali. Kadang hanya laku dua potong (pakaian) selama sepekan itu, maksimal 10 potong," ujarnya.
Panelis dari UGM, Hempri menyebut, aspek kesehatan dan ekonomi memang masalah utama di tengah pandemi saat ini. Walaupun begitu, keduanya harus berjalan beriringan.
"Yang berat adalah bagaimana menyinkronkan antara ekonomi dan kesehatan," katanya.
Untuk menghadapi pandemi, katanya, ke depan harus ada peta jalan atau roadmap pengembangan ekonomi berbasis kesehatan. Sehingga, ekonomi khususnya di DIY tidak semakin turun.
"Ke depan harus ada roadmap pengembangan ekonomi berbasis kesehatan. Perlu ada desain yang dimiliki daerah dan nasional. Sehingga ekonomi tidak berdampak negatif yang terlalu parah. Tapi, di sisi lain protokol kesehatan tetap terjaga," ujarnya.