Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas meminta pemerintah tak hanya menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir di Kalsel. Menurut dia, pemerintah seharusnya mengevaluasi penggunaan lahan yang tentu juga menjadi faktor penyebab banjir.
"Ketegasan pemerintah dan paradigma bagaimana hutan itu tidak dieksploitasi lagi. Dan sekali lagi jangan kemudian menggunakan hujan sebagai salah satu faktor dan menyalahkan curah hujan," ujar Arie saat dihubungi Republika, Selasa (19/1).
Arie mengatakan, hitung-hitungan untuk mengantisipasi banjir antara curah hujan, debit air, dan kapasitas sungai, tidak akan menjamin suatu daerah bebas banjir, ketika hutan-hutan tak bisa lagi menampung air. Sebab, penggunaan lahan hutan akan mengubah bentang alam, struktur hidrologi, dan fungsi hutan itu sendiri yang berpengaruh terhadap banjir.
Menurut dia, peningkatan deforestasi dan tutupan hutan yang turun drastis, membuat wilayah Kalsel tidak mampu lagi menampung curah hujan tinggi. Selain sebabkan daya tampung air yang berkurang, deforestasi di Kalimantan juga mendorong terjadinya krisis iklim yang berpengaruh besar pada curah hujan ekstrem di musim penghujan.
"Selain curah hujan, itu ada faktor manusia di mana deforestasi berasal dari aktivitas pembukaan lahan, di mana di wilayah ini juga ada perkebunan sawit dan pertambangan," kata Arie.
Menurutnya, Kalsel kehilangan lahan yang dapat menampung air hujan karena berubah menjadi perkebunan sawit maupun pertambangan. Bahkan, bekas pertambangan banyak ditinggalkan begitu saja dan menyisakan lubang-lubang tanpa adanya reklamasi.
"Hal ini memicu daya tampung dan daya dukung lingkungan di wilayah-wilayah yang terjadi banjir itu sudah tidak bisa lagi menampung air hujan memenuhi ketika intensitas hujan meningkat," kata Arie.
Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Hanif Faisol mengakui terjadinya pengurangan luas hutan juga terjadi karena 2,7 juta dari 3,6 juta penduduk Kalsel tinggal di sekitar DAS Barito. Dengan demikian, kegiatan pertanian, perkebunan karet, perkebunan sawit sangat masif di wilayah DAS Barito.
Namun, menurut Hanif, tidak ada pelanggaran yang serius dari pemegang izin usaha pemanfaatan hutan alam, hutan tanaman, maupun izin penggunaan kawasan hutan. Selain itu, kata dia, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di DAS Barito sejak 2010-2019 seluas 10.155 hektare.
"Jadi secara numerik sebenarnya kegiatan RHL di Kalimantan Selatan ini lebih besar daripada lahan kritis di kawasan Barito di angka 5.000 sekian," tutur Hanif.
In Picture: Darurat Banjir di Kalimantan Selatan