Selasa 05 Jan 2021 14:02 WIB

Mengulik Temuan Drone Laut, Riset atau Spionase?

Pengamat nilai sulit tentukan drone laut bukan kesengajaan.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono (tengah) didampingi Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal) Laksamana Muda TNI Agung Prasetiawan (kanan), dan Asintel KSAL Laksamana Muda TNI, Angkasa Dipua (kiri) menjelaskan tentang penemuan alat berupa
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono (tengah) didampingi Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal) Laksamana Muda TNI Agung Prasetiawan (kanan), dan Asintel KSAL Laksamana Muda TNI, Angkasa Dipua (kiri) menjelaskan tentang penemuan alat berupa

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara

Temuan drone bawah laut atau unmanned underwater vehicle (UUV) di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, menimbulkan tanda tanya. Apakah UUV berupa SeaGlider itu adalah upaya mata-mata negara asing terhadap Indonesia atau sekadar demi kebutuhan riset perairan saja.

Baca Juga

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan SeaGlider bisa digunakan untuk pengumpulan data oseanografi secara otonom dan mendukung riset di bawah permukaan laut. "Alat ini adalah SeaGlider untuk pengamatan vertical profiling (profil vertikal) data oseanografi secara autonomous (otonom)," kata Deputi Kepala Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa (TIRBR) BPPT Wahyu W Pandoe, Selasa (5/1).

Data-data di bawah permukaan laut yang dikumpulkan antara lain berupa kedalaman, suhu, dan arus. SeaGlider dengan panjang 2,25 meter dan memiliki dua sayap yang masing-masing berukuran 0,5 meter ditemukan di perairan Desa Majapahit, Kecamatan Pasimarannu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan pada 26 Desember 2020 pukul 07.00 WITA. Benda tersebut ditemukan dalam kondisi mengapung di permukaan laut.

Dari foto-foto penemuan SeaGlider tersebut, Wahyu menuturkan payload SeaGlider hanya berupa sensor-sensor oseanografi dan akustik, seperti sensor CTD, chlorophyl fluorometer, dan acoustic doppler current profiler(ADCP). "Mungkin setelah dibongkar bisa kita identifikasi sensor apa saja yang terpasang," ujarnya.

Parameter yang diukur oleh peralatan CTD terutama profil vertikal untuk salinitas, temperatur, densitas, dan kandungan oksigen (jika sensor oksigen terpasang). Sedangkan alat ADCP mengukur arus 3D (u, v, w).

Untuk penelitian, data-data tersebut sangat diperlukan untuk memantau perubahan parameter salinitas, suhu dan densitas secara vertikal dan horizontal. Data itu berkaitan dengan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang terkait dengan predecessorperubahan iklim, daerah penangkapan ikan, iklim maritim, termasuk prediksi penguatan musim El-Nino dan La-Nina. Dan La Nina sedang terjadi saat ini.

Untuk sistem pertahanan, Wahyu mengatakan adanya layer thermocline (perubahan temperatur yang ekstrem terhadap kedalaman) di lapisan antara permukaan hingga 200-an meter sangat membantu pergerakan kapal selam di bawah thermocline, atau dikenal dengan istilah shadow zone.

Adanya layer thermocline dapat menjadi bidang pantul gelombang akustik yang dipancarkan dari kapal permukaan, sehingga pergerakan kapal selam di bawah lapisan thermocline sulit terdeteksi. Thermocline tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan energi laut OTEC (ocean thermal energy conversion) atau konversi energi termal lautan sebagai sumber energi baru terbarukan dari laut di masa depan.

Wahyu menuturkan ada dua jenis yaitu SeaGlider dan Argo Float. Kedua jenis itu tidak mempunyai propulsi, dan bekerja sinking-floating (tenggelam-mengambangnya) hanya berdasarkan buoyancy (kemampuan mengapung).

Secara praktis, Argo Float tidak bergeser terlalu jauh dari peletakan awal (initial deployment), kecuali kalau terseret arus. SeaGlider juga demikian, tetapi dengan flap-nya bisa "riding" arus lebih efektif, dan bisa diarahkan dengan mengatur sudut kemiringan dari flapnya (kiri dan kanan).

Wahyu menuturkan pada waktu lalu, mitra kerja sama penelitian Perancis juga pernah melaporkan Argo Float yang masuk ke Selat Makassar. Umumnya SeaGlider tidak punya propulsi dan bekerja sinking-floating hanya berdasarkan buoyancy yang bisa diatur motor and reciprocating hydraulic pump.

"Versi terkini ada juga yang menggunakan propulsi agar lebih efisien dalam mengarahkan gerakan glider ini," tuturnya.

Alat tersebut sudah dikembangkan di negara-negara maju sejak awal tahun 2000-an, dan saat ini sudah banyak yang ikut mengembangkan peralatan itu. Termasuk China.

Hingga saat ini belum ada pengumuman resmi dari pemerintah mengenai dari mana UUV bawah laut itu berasal. Spekulasi bermunculan hingga mendorong pemerintah agar waspada terhadap aksi mata-mata.

Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai sulit menyatakan penggunaan SeaGlider bukan sesuatu yang disengaja bahkan direncanakan. Dia melihat, perangkat tersebut digunakan untuk tujuan yang buruk.

"Sulit untuk mengatakan bahwa penggunaan 'seaglider' itu bukan sesuatu yang disengaja bahkan direncanakan," ujar Fahmi lewat pesan singkat, Selasa (5/1).

Dia mengatakan, lokasi penemuan perangkat tersebut berada di kawasan perairan teritorial Indonesia. Sementara Indonesia sudah memastikan tidak memiliki perangkat tersebut.

"Siapapun pemiliknya, menurut saya perangkat tersebut telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang buruk, berpotensi merugikan kepentingan nasional dan mengancam kedaulatan kita," kata dia.

Fahmi mengatakan, berbagai pihak menyatakan perangkat yang ditemukan itu sangat mirip dengan yang dimiliki China. Menurut dia, sebetulnya hal tersebut merupakan sesuatu sesuatu yang harus didalami dan diklarifikasi terlebih dahulu.

Pengungkapan pemilik dan pengguna alat itu harus jadi prioritas pihak yang menyelidikinya. Jika negara atau pihak penggunanya sudah diketahui, maka langkah yang ia sebut harus ditempuh pemerintah ialah menggunakan saluran diplomatik.

"Untuk menyampaikan protes dan peringatan keras. Termasuk mengkaji kemungkinan adanya langkah hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat," jelas dia.

Kemudian, pemerintah dan DPR juga harus segera mendiskusikan langkah yang harus diambil untuk meningkatkan kemampuan dalam upaya menutup celah rawan itu. Peningkatan kemampuan yang perlu dilakukan itu mulai dari aspek regulasi hingga kebutuhan perangkat deteksi dan penangkalannya.

"Karena harus diakui, keamanan laut kita masih menyisakan banyak celah rawan, baik di perbatasan maupun di perairan teritorial," kata dia.

Fahmi mengatakan, hal itu ditengarai bukan hanya karena persoalan keterbatasan alat utama sistem persenjataan (alutsista) saja, tapi juga karena praktik-praktik buruk dalam pengelolaan keamanan laut belum sepenuhnya hilang.

"Termasuk ego sektoral dan masih belum tuntasnya persoalan tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan keamanan laut," ungkap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement