Ahad 03 Jan 2021 15:46 WIB

Bung Karno dan Soal Bangsa Tempe Yang Kini Tak Relevan!

Kisah tempe yang ternyata berbahan impor

Pekerja menata peralatan saat menggelar aksi mogok berproduksi di salah satu pabrik tahu di Jakarta, Sabtu (2/1/2021). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Jabodetabek menggelar aksi mogok berproduksi sebagai protes dari naiknya harga kedelai di pasaran yang mencapai Rp9.000 per kilogram dari harga normal Rp7.000 per kilogram. Mereka berharap pemerintah segera mengambil kebijakan menurunkan harga kedelai karena membebani pelaku usaha UMKM tersebut.
Foto:

Sejenak melihat ke belakang, pengrajin tahun tempe kerap tercekik kenaikan harga kedelai dalam lima tahun terakhir. Sejak 2008, Koptti DKI beberapa kali menggelar demo di istana merdeka untuk mendesak presiden mengambil langkah cepat menstabilkan harga.

Tahun 2008, harga kedelai Rp 4.000. Tahun berikut harga merangkak naik menjadi Rp 5.000, dan terus sampai Rp 7.000 per kilogram. Bahkan tahun 2012 harga sempat mencapai di atas Rp 7.000, yang membuat Koptti melakukan mogok produksi.

Kenaikan terjadi setelah Perum Bulog tidak lagi memonopoli impor kedelai. Pemerintah meliberalisasi kedelai, yang menyebabkan munculnya importir-importir baru. Importir besar membentuk kartel, yang membuatnya bisa seenaknya menjual kedelai dengan harga berapa pun.

"Sebelum Perpres No 32 tahun 2013 keluar, pemerintah bikin janji-janji; memberikan subsidi dan memberikan bantuan kompor gas," kenang Suharto. "Subsidi hanya berlangsung tiga bulan. Kompor gas tak pernah datang."

Perpres No 32 tahun 2013 sempat membuat Koptti tersenyum. Pengrajin yakin intervensi presiden akan membuat harga kedelai stabil.

Koptti adalan wadah bagi 115.000 pengrajin. Setiap pengrajin mempekerjakan selima sampai 20 orang. Suharto memperkirakan terdapat sekitar Rp 1,5 juta tenga kerja yang mengantungkan hidup di industri rumahan tahu-tempe anggota Koptti.

Kebutuhan kedelai anggota Koptti per tahun mencapai 2,6 juta ton. Dari jumlah kebutuhan itu, hanya 700 ribu sampai 800 ton yang bisa disedikan petani lokal. Selebihnya, 1,8 juta ton per tahun, harus diimpor dari negara-negara benua Amerika.

"Kami terlalu berharap Perpres No 32 tahun 2013 berpihak kepada kami," ujar Suharto. "Setelah kedelai diliberalisasi, tidak akan ada pemihakan kepada pengrajin. Yang ada adalah keberpihakan pemerintah kepada importir,'' tegasnya.

Nah, saat ini soal kedelai muncul kembali. Harganya sudah melambung mendekati Rp 10 ribu per kilogram. Padahal seingat saya saat itu Ketua Koptti pun sudah mengatakan sebenarnya kualitas kedelai impor yang kita konsumsi di Indonesia masih belum  baik, belum kualitas pertama.

Bahkan dia mengatakan kualitas kedelai impor kita kualitasnya masih untuk pakan. Dan ini masuk akal sebab kalau beli dengan kualitas pertama maka pasti rakyat tak bisa mengkonsumsinya.

Dan kini sudah terbukti zaman sudah berubah. Kalau dahulu Bung Karno mengatakan 'Janganlah Jadi bangsa Tempe', maka hari ini marilah bangsa Indonesia menjadi bangsa tempe saja. Sebab, tempe adalah makanan impor....!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement