Ahad 03 Jan 2021 14:40 WIB

FPI, Mobil Listrik, dan Ancaman Geopolitik

Indonesia punya peluang dan ancaman besar sebagai penghasil nikel terbesar di dunia.

Seorang warga memasuki kantor DPP FPI di kawasan Petamburan III, Jakarta, Rabu (30/12).
Foto:

Tentu orang-orang yang gemar teori konspirasi senang mengutak-atik pertanyaan tersebut. Terlebih kemudian muncul momen yang 'cukup aneh' saat staf kedutaan asing berkunjung ke markas FPI di Petamburan di tengah isu yang sedang panas-panasnya.

Muncul klarifikasi dari kedutaan negara sahabat itu bahwa kedatangan staf mereka adalah untuk mengetahui jalur demo FPI. Alasan yang cukup unik disampaikan dalam kondisi Covid-19.

Suka atau tidak, persoalan FPI ini membuktikan adanya atensi internasional. Atensi yang tak hanya tercermin dari kedatangan staf kedutaan asing, tetapi bisa juga dilihat dari luasnya pemberitaan media internasional.

Lantas apakah hal ini menandakan FPI memang punya daya tarik global? Saya pikir masih jauh dari itu. Sebab skala organisasi, agenda, maupun ide yang disuarakan FPI umumnya hanya berkutat pada isu mikro di tataran lokal dalam negeri Indonesia.

Isu yang disuarakan lebih sering berupa tutup-menutup tempat hiburan. Kalaupun ada isu berbau politik yang diusung FPI itupun masih dalam tataran lokal, seperti Pilkada dan Pilpres.

Narasi bahwa FPI terkait jaringan global sepeti ISIS agaknya masih sukar dicerna logika. Sebab jika hal itu benar sudah pasti Habib Rizieq Shihab tak bisa dengan nyamannya bermukim di Arab Saudi yang menjadi basis kekuatan militer Amerika di Timur Tengah.

Saya justru melihat ketertarikan asing pada isu FPI justru bukan terkait FPI itu sendiri, tapi lebih pada gestur memandang Indonesia. Saya menduga atensi ini ada hubungannya dengan nikel. Ini mirip seperti gestur asing memandang Timur Tengah pasca-Perang Dunia II.

Pasca-Perang Dunia II, asing semakin tertarik dengan konstelasi nasional di Timur Tengah. Ketertarikan pada konstelasi ini dikarenakan potensi pengelolaan sumber daya minyak. Jones (2012) lewat artikel penelitiannya berjudul America, Oil, and War in the Middle East menggambarkan relasi peran global pada konstalasi nasional di Timur Tengah yang kemudian meletupkan sejumlah konflik hingga perang.

Jika banyak yang menyatakan konflik yang terjadi di Timur Tengah adalah aliran kepercayaan Sunni vs Syiah, maka penelitian ini justru menunjukkan sebaliknya. Aliran kepercayaan hanya sekadar bumbu dari konflik yang akarnya adalah soal penguasaan lahan minyak.

Penyebab boom minyak kala itu terkait pula dengan teknologi kendaraan berbahan bakar fosil yang semakin meroket pengunaannya di dunia sejak 1970-an. Walhasil bahan bakar minyak (BBM) pun ibarat emas yang menjadi salah satu komoditas paling dicari di muka bumi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement