REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nidia Zuraya*
Tak ada yang pernah menduga bahwa makhluk hidup sekaligus benda mati berukuran ultra mikroskopik bernama SARS-CoV2 mampu mengacaukan aktivitas perekonomian dunia sepanjang tahun 2020 ini. Sektor perdagangan, industri manufaktur hingga industri pariwisata ikut dihantam oleh virus corona baru ini.
Akibatnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pun terjadi hampir di semua sektor usaha. Kalaupun tak sampai melakukan PHK, para pemilik usaha terpaksa merumahkan karyawannya tanpa dibayar karena faktor lesunya kegiatan ekonomi.
Penyebaran masif virus penyebab penyakit Covid-19 ini pun membuat negara-negara yang memiliki sistem perawatan kesehatan publik terbaik di dunia pun tak berdaya dibuatnya. Kondisi tersebut membuat pertumbuhan ekonomi banyak negara terkontraksi pada tahun ini. Bahkan, beberapa negara sudah jatuh ke jurang resesi karena setidaknya dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya minus.
Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi yang minus selama dua kuartal berturut-turut. Kontraksi pertama terjadi pada kuartal II lalu, dengan kinerja ekonomi minus 5,32 persen year on year (yoy). Kontraksi tersebut berlanjut di kuartal III dengan angka minus sebesar 3,49 persen (yoy).
Meski di awal-awal kemunculan virus corona baru ini, pemerintah terkesan menyepelekan, namun seiring meningkatnya angka kasus positif Covid-19 berbagai upaya pencegahan penyebaran infeksi terus dilakukan. Biaya yang harus disiapkan pemerintah memang tidak sedikit.
Untuk kebutuhan penanganan dampak pandemi Covid-19 pada tahun ini pemerintah sudah menyiapkan anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 triliun. Hingga 14 Desember 2020, realisasi penyerapan anggaran PEN ini baru mencapai Rp 481,6 triliun atau 69,3 persen dari pagu anggaran PEN.
Anggaran PEN yang telah disiapkan pemerintah ini di antaranya dialokasikan dalam bentuk bantuan subsidi tagihan listrik, subsidi kuota internet dan subsidi gaji. Dengan adanya bantuan-bantuan subsidi ini diharapkan bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
Membaiknya daya beli masyarakat pada akhirnya bakal mendorong aktivitas industri manufaktur hingga usaha skala kecil menengah di dalam negeri. Jika kegiatan ekonomi nasional berjalan as usual, maka pertumbuhan ekonomi pun bakal terdongkrak.
Selama ini pondasi ekonomi Indonesia ini banyak bergantung pada harga komoditas ekspor utama seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO). Namun seiring merosotnya permintaan global terhadap batu bara dan CPO, pemerintah tak lagi mengandalkan harga komoditas untuk mengerek pertumbuhan ekonomi nasional.
Kini, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih mengandalkan mesin domestik, yaitu konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, lebih dari 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun di masa pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi motor penggerak utama pertumbuhan, justru mengalami penurunan paling tajam.
Pada kuartal pertama tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan signifikan menjadi 2,84 persen (yoy). Padahal, pada kuartal keempat tahun 2019 konsumsi rumah tangga masih tumbuh 4,97 persen.
Pada kuartal II, konsumsi rumah tangga minus 5,52 persen (yoy). Lesunya konsumsi rumah tangga masih berlanjut di kuartal III, dimana tercatat masih minus 4,04 persen (yoy).
Tahun 2020 tinggal menyisakan hari kurang dari sepekan untuk kita menuju ke tahun yang baru, 2021. Hingga saat ini kita masih menghadapi pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir.
Kendati beberapa perusahaan farmasi global sudah berhasil menciptakan vaksin Covid-19, namun keampuhan vaksin-vaksin tersebut belum teruji. Belum lagi, munculnya varian baru dari virus penyebab penyakit Covid-19 ini.
Dengan besarnya kontribusi konsumsi rumah tangga pada struktur PDB Indonesia, maka menjaga daya beli masyarakat menjadi sesuatu yang penting dilakukan dalam kondisi tidak normal seperti saat ini. Hal ini sejalan dengan proyeksi Asian Development Bank (ADB) mengenai ekonomi Indonesia di tahun depan.
ADB memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,3 persen pada 2021. Menurut ADB, pemulihan ekonomi Indonesia tahun depan akan didukung belanja rumah tangga dan perekonomian global yang membaik sehingga meningkatkan investasi.
Peran penting konsumsi rumah tangga dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan juga disinggung dalam Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Economic Outlook December 2020. Menurut proyeksi OECD, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 berada di level empat persen.
Pertumbuhan tersebut dipengaruhi tren pemulihan yang parsial seiring dengan tingginya pelonggaran protokol kesehatan. Di sisi lain, tingkat konsumsi masyarakat dan kepercayaan bisnis masih rendah.
Angka pertumbuhan yang lebih optimis disampaikan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam laporan World Economic Outlook: A Long and Difficult Ascent, IMF memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan mencapai 6,1 persen. Pertumbuhan ini karena semua pasar negara berkembang dan kawasan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia, terus berusaha mengendalikan pandemi Covid-19.
Agar ekonomi tak terpuruk
Pengendalian pandemi menjadi kunci utama agar ekonomi Indonesia tak lagi terpuruk. Karena faktanya, musim liburan panjang Oktober lalu stidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, pada momentum libur panjang tersebut terjadi kenaikan tingkat penyebaran Covid-19.
Momentum libur panjang berikutnya ada dipengujung tahun ini. Sejak awal guna menekan angka penyebaran Covid-19, pemerintah memperketat aturan perjalanan dari dan ke wilayah Pulau Jawa serta Bali. Dua wilayah ini memiliki tingkat kasus rata-rata harian yang tinggi secara nasional.
Selain mengendalikan penyebaran Covid-19, untuk jangka panjang agar daya beli masyarakat bisa terkatrol adalah ketersediaan lapangan kerja. Dengan mempunyai pekerjaan, masyarakat akan memiliki pendapatan untuk meningkatkan daya belinya.
Penyediaan lapangan kerja ini termasuk dengan cara mempermudah investasi yang berorientasi pembukaan lapangan kerja. Sesuai data BPS per Agustus 2020, pandemi Covid-19 membuat jumlah pengangguran bertambah 2,67 juta menjadi nyaris 10 juta orang.
Salah satu upaya pemerintah untuk mendorong terciptanya lapangan kerja adalah dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU tersebut untuk menyederhanakan proses berusaha bagi masyarakat. Tujuannya, bisa lebih banyak mendatangkan investasi dan penciptaan lapangan kerja untuk menyerap jumlah angkatan kerja.
Bagi kalangan dunia usaha, dalam kondisi pandemi seperti saat ini yang paling dibutuhkan adalah pemberian stimulus. Pemberian stimulus kepada korporasi akan membantu arus kas keuangan perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19. Dan dalam jangka panjang akan mendukung bangkitnya sektor-sektor ekonomi produktif.
Salah satu sektor ekonomi produktif yang bisa diandalkan di masa sekarang adalah sektor pertanian. Pertumbuhan positif sektor pertanian pada Kuartal III 2020 mencapai angka 2,15 persen (yoy), jauh diatas dari pertumbuhan ekonomi nasional yang minus 3,49 persen (yoy).
Jika banyak sektor usaha lain yang menyumbang angka pengangguran selama masa pandemi, sektor pertanian justru kebalikannya. Pada sisi ini, sektor pertanian menyerap lapangan kerja 29,76 persen atau meningkat satu persen.
Sementara dari sisi pangsa pasar, sektor pertanian juga terlihat bangkit. Yang semula di tahun 2010 sebesar 15,3 persen sempat turun di tahun 2019 menjadi 13 persen. Namun, pada Kuartal III 2020 naik menjadi 14,68 persen.
Sehingga bisa disimpulkan dalam kondisi sulit di masa Pandemi Covid-19, sektor pertanian menjadi bantalan dan andalan menghadapi resesi perekonomian.