Rabu 30 Dec 2020 13:33 WIB

Mahfud: FPI Dianggap tak Ada, Aparat Harus Tolak Kegiatannya

Pemerintah hari ini menerbitkan keputusan bersama larangan aktivitas FPI.

Rep: Ronggo Astungkoro, Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Menko Polhukam Mahfud MD.
Foto: Republika/Prayogi
Menko Polhukam Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, meminta aparat pemerintah pusat maupun daerah untuk menolak segala kegiatan yang mengatasnamakan organisasi Front Pembela Islam (FPI). Itu mulai berlaku saat ini setelah dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

"Jadi dengan larangan ini tidak punya legal standing. Kepada aparat-aparat pemerintah pusat dan daerah kalau ada sebuah organisasi mengatasnamakan FPI, itu dianggap tidak ada dan harus ditolak karena legal standing-nya tidak ada. Terhitung hari ini," jelas Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (29/12).

Baca Juga

Mahfud menjelaskan, pelanggaran kegiatan FPI itu dituangkan di dalam Keputusan Bersama enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga. Dia merinci, enam pejabat itu, yakni menteri dalam negeri, menteri hukum dan hak asasi manusia (HAM), menteri komunikasi dan informatika, jaksa agung, kepala kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala BNPT.

Pada surat keputusan bersama (SKB) enam pimpinan kementerian dan lembaga itu, terdapat tujuh poin pertimbangan yang dilakukan. Salah satunya, pada poin e, yakni karena sebanyak 35 orang pengurus dan atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI pernah terlibat tindak pidana terorisme. Sementara itu 206 orang lainnya terlibat berbagai tindak pidana umum.

"Berdasarkan data sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme, dan 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. Di samping itu sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 100 di antaranya telah dijatuhi pidana," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, saat membacakan SKB itu.

Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan isi anggaran dasar FPI yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Eddy, sapaan Wamenkumham, membacakan, isi anggaran dasar FPI bertentangan dengan Pasal 2 UU No. 17/2013 tentang Ormas sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16/2017 tentang penetapan Perppu No. 2/2107 tentang perubahan atas UU No. 17/2013 tentang Ormas menjadi UU.

Pemerintah memang telah secara resmi melarang aktivitas dan akan menghentikan kegiatan FPI. Hal tersebut diputuskan melalui SKB enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga.

"Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing, baik sebagai ormas maupun organisasi biasa," ujar Mahfud.

Dia menjelaskan, sejak 21 Juni 2019, FPI secara de jure telah bubar sebagai ormas. Itu karena FPI belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai ormas hingga kini. Sementara masa berlaku SKT FPI yang sebelumnya hanya berlaku hingga 20 Juni 2019.

"Tetapi sebagai organisasi FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum. Seperti tindak kekerasan, sweeping atau razia sepihak, provokasi, dan sebagainya," kata dia.

Menurut Mahfud, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan putusan Mahkmah Konstitusi nomor 82 PUU 11 Tahun 2013 tertanggal 23 Desember 2014, pemerintah melarang aktivitas FPI. Pemerintah juga akan mengehntikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI karena tidak lagi mempunyai kedudukan hukum.

Sebelumnya, juga telah beredar Surat Telegram (STR) Kapolri Jenderal Idham Azis terkait pembubaran sejumlah ormas di media sosial. STR bernomor STR/965/XI/IPP.3.1.6/2020 itu ditandatangani Wakabaintelkam Polri Irjen Suntana.

Di dalam STR itu disebutkan ada enam organisasi yang dilarang beraktivitas di Indonesia, termasuk FPI. Sementara kelima organisasi lainnya, adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Aliansi Nasional Anti Syiah (ANAS), Jamaah Ansharu Tauhit (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum Umat Islam (FUI).

Kemudian di dalam STR tersebut juga diterangkan, pelarangan ini meyusul telah keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) mengenai Pembubaran Ormas yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Ormas-ormas yang disebut di dalam STR itu dianggap tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan peraturan yang berlaku.

 

photo
Habib Rizieq Shihab - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement