Selasa 29 Dec 2020 12:15 WIB

Saran Ahli: Sengketa PTPN-FPI Diselesaikan di Pengadilan

PTPN VIII dan FPI disarankan ahli hukum menyelesaikan sengketa lahan ke pengadilan.

Sejumlah spanduk sambutan kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab terpampang di sepanjang jalan menuju Markaz Syariah, Pesantren Alam Agrokultural, Mega Mendung, Kabupaten Bogor. Lahan yang ditempati Markaz Syariah saat ini disengketakan oleh pihak PTPN VIII sebagai pemegang hak guna usaha (HGU). (ilustrasi)
Foto: Republika/Shabrina Zakaria
Sejumlah spanduk sambutan kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab terpampang di sepanjang jalan menuju Markaz Syariah, Pesantren Alam Agrokultural, Mega Mendung, Kabupaten Bogor. Lahan yang ditempati Markaz Syariah saat ini disengketakan oleh pihak PTPN VIII sebagai pemegang hak guna usaha (HGU). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rizky Suryarandika, Shabrina Zakaria, Zainur Mashir Ramadhan

Sengketa lahan antara PTPN VIII dan pimpinan FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS) disarankan diselesaikan melalui jalur pengadilan. Menyusul somasi PTPN VIII terhadap HRS, lahan seluas 30,91 hektare di Desa Kuta, Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang dibangun pesantren Markaz Syariah kini menjadi objek sengketa.

Baca Juga

"Penyelesaian sengketa hak atas tanah sebaiknya diselesaikan ke pengadilan untuk memastikan siapa yang secara hukum memiliki hak atas tanah tersebut," kata ahli hukum sumber daya alam Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi di Jakarta, Selasa (29/12).

Menurut Ahmad Redi, jalur hukum harus ditempuh untuk menyelesaikan sengketa. Dalam hukum agraria, siapa yang memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah, ialah yang berhak atas tanah tersebut.

"Silakan bukti-bukti berupa surat tanah misal sertifikat HGU, hak milik, dokumen tertulis lainnya, termasuk saksi-saksi dihadirkan di persidangan pengadilan negeri," ucapnya.

Sementara itu, ahli hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai, mekanisme hukum dapat ditempuh jika upaya mediasi tidak mencapai titik temu. Dia menyarankan, pihak bersengketa melakukan mediasi terlebih dahulu dengan profesional dan proporsional agar tidak menimbulkan kontroversi.

"Masing-masing pihak dapat menggunakan dokumen surat-surat dan saksi-saksi yang menunjukkan bahwa memiliki hak atas tanah tersebut. Bukti tersebut dapat dijadikan dasar untuk menilai pihak yang paling berhak atas tanah tersebut," ujarnya.

Adapun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan, pihaknya memantau kasus sengketa lahan yang melibatkan PTPN VIII dan Markaz Syariah di Megamendung, Bogor. Namun, BPN untuk sementara ini mempercayakan penyelesaian sengketa pada pihak PTPN VIII.

"Tentang soal HGU PTPN, kita belum bisa memberikan tanggapan karena itu kan sengketa antara PTPN sebagai pemegang HGU dengan yang menggarap. Silakan diselesaikan mereka ya," kata Dirjen Pengendalian, Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang pada Republika, Senin (28/12).

Budi memang enggan memberi tanggapan rinci soal sengketa PTPN VIII dengan HRS. Hanya saja, Budi memastikan status lahan di sana berupa tanah Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VIII.

"ATR/BPN belum bisa memberikan tanggapan karena internal mereka kan ya. Statusnya ya HGU PTPN VIII. Kita belum berposisi apa pun ini." ujar Budi.

PTPN VIII sudah melayangkan surat somasi kepada HRS mengenai lahan Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor. Surat tersebut berisi permasalahan penguasaan fisik tanah hak guna usaha (HGU) milik PTPN VIII di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, oleh Markaz Syariah sejak 2013 tanpa izin.

Sekretaris Perusahaan PTPN VIII, Naning DT, mengatakan, surat itu disampaikan PTPN VIII terhadap seluruh okupan di wilayah Perkebunan Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor. Termasuk, Markaz Syariah.

“Dengan ini kami sampaikan bahwa PTPN VIII telah pembuatan Surat Somasi kepada seluruh Okupan di Wilayah Perkebunan Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor, dan Markaz Syariah milik pimpinan Front Pembela Islam (FPI) memang benar ada di areal sah milik kami,” ujar Naning kepada Republika, Rabu (23/12) malam.

Dalam surat yang dimaksud Naning, PTPN VIII menyebut hal yang dilakukan pihak Markaz Syariah merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No. 51 Tahun 1960 dan atau Pasal 480 KUHP.

Kuasa Hukum FPI, Ichwan Tuankotta tak menampik jika lahan Markaz Syariah (MS) memang berasal dari HGU PTPN VIII. Namun demikian, pihak PTPN yang melepaskan lahan itu pada masyarakat sejak puluhan tahun lalu, dinilainya mengubah kepemilikan lahan menjadi hak petani.

"Sehingga, Habib (Rizieq Shihab) membeli lahan itu dari petani,’’ ujarnya kepada Republika, Kamis (24/12).

Dia menjelaskan, jauh sebelum berdirinya Pesantren Markaz Syariah, lahan itu memang terbengkalai dan dikelola oleh masyarakat sekitar. Hingga akhirnya, HRS dan FPI, dia sebut, yang melanjutkan mengelola lahan itu pada 2013 untuk mendirikan pesantren, dan membeli lahan yang disebut hak garap tanah.

Ketika ditanya bukti pembelian lahan pada warga sekitar, dia membenarkan adanya. Bukti itu, kata dia, akan dibuka beserta bukti pendukung lainnya untuk membalas surat somasi dari PTPN VIII.

"Untuk bukti pembelian ada," ujarnya.

Hal serupa mengenai kronologi lahan sengketa itu juga sempat ditegaskan oleh HRS setelah tiba di Indonesia beberapa waktu lalu. Dalam penjelasannya saat mengunjungi pesantren itu, HRS tak menampik ada pihak yang ingin menggusur lahan pesantren yang dibelinya menggunakan dana pribadi, keluarga, sahabat, dan umat.

Menurutnya, sertifikat HGU di lahan itu memang milik PTPN. Namun, dalam 30 tahun lebih, lahan itu, kata HRS, tidak dirawat oleh pihak terkait dan malah dikelola masyarakat selama puluhan tahun untuk bertani.

"Dan ini Hak Guna Usaha (HGU), bukan hak milik," ucapnya.

Dikatakannya, dalam UU Agraria, jika satu lahan kosong dan terlantar, dan digarap oleh masyarakat selama 20 tahun, maka, masyarakat berhak mendapat sertifikat. Sehingga, lahan itu ia tegaskan bukan rampasan.

Menjelang 2013 saat ada rencana pembangunan pesantren, para penggarap lahan, kata HRS, datang berbondong-bondong ingin menjual lahan. Hal itu dilakukan, karena ada dukungan untuk membangun pesantren.

Pada saat itu, pemilik lahan yang menggarap lokasi itu, membawa surat hak garap dan ditandatangani oleh RT/RW dan lurah. Sehingga, lahan itu, ia klaim, ada surat.

"Itu artinya, saya beli over garapnya. Saya tidak beli SHM, itu bukan hak milik saya. Dan tidak ada yang punya SHM di sini. Hanya HGU dengan masa berlaku 20 tahun," jelasnya.

Semua surat jual beli hak garap saat transaksi terjadi, kata dia, masih ada. Bahkan, bukti foto serah terima uang juga masih ada.

Tak hanya itu, surat setelah terjadinya jual-beli juga dilaporkan pihaknya ke camat serta bupati saat itu, Rahmat Yasin. Lebih jauh, dirinya juga melaporkannya ke Gubernur Jawa Barat saat itu, yang kemudian menghasilkan bukti sah rekomendasi.

"Gubernur bikin rekomendasi. Sekali lagi, HGU memang milik PTPN, masyarakat tidak merampas, tapi menggarap," ungkapnya.

HRS menjelaskan, dana pembelian lahan juga berasal dari dirinya, keluarga, kerabat, sahabat, dan umat. Sehingga, lahan itu diputuskan bersama untuk wakaf keperluan umat.

"Tidak ada lahan pribadi di sini," ucapnya.

HRS menegaskan, ke depan, jika ada yang ingin mengambil lahan itu, pihak FPI dan MS akan mempertahankannya. Mengingat, lahan itu merupakan wakaf umat.

"Tetapi, kalau pemerintah mau ambil lahan ini, silahkan ambil. Tapi tolong, kembalikan semua uang milik umat untuk membangun pesantren di lahan lain. Termasuk, lahan yang telah digarap rakyat," ucapnya.

 

photo
Habib Rizieq Shihab - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement