Rabu 23 Dec 2020 16:46 WIB

Perlu Kolaborasi untuk Tangkal Hoaks Soal Pandemi

Hoaks juga muncul di kalangan pemerintah, agamawan, budayawan, juga tokoh masyarakat.

Rep: Silvy Dian Setyawan/ Red: A.Syalaby Ichsan
Selama kurun waktu 1 September 2020 sampai 18 November 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menemukan 38 isu hoaks terkait dengan Pemilihan Serentak 2020. Hoaks yang beredar ini langsung diklarifikasi oleh Kemkominfo melalui laman resmi mereka, www.kominfo.go.id.
Foto: istimewa
Selama kurun waktu 1 September 2020 sampai 18 November 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menemukan 38 isu hoaks terkait dengan Pemilihan Serentak 2020. Hoaks yang beredar ini langsung diklarifikasi oleh Kemkominfo melalui laman resmi mereka, www.kominfo.go.id.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Beredarnya berita palsu (hoaks) terkait pandemi Covid-19 sangat marak. Tidak sedikit  masyarakat  percaya dengan hoaks yang tidak memiliki sumber valid.

Untuk itu, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak untuk mengatasi hoaks. Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra mengatakan, hoaks ini tidak hanya muncul di kalangan masyarakat.

Dia menjelaskan, hoaks juga bisa muncul di kalangan pemerintah, agamawan, budayawan hingga tokoh masyarakat. Seluruh pihak harus berkolaborasi dalam mengatasi hoaks pandemi yang saat ini beredar luas.

"Solusinya tidak hanya diserahkan ke masyarakat, pemerintah tidak boleh lepas tangan," kata Iswandi dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema Hoaks di Tengah Pandemi yang digelar Republika secara virtual, Rabu (23/12).

Ia menuturkan, pemerintah harus memberikan informasi yang benar kepada masyarakat terkait pandemi. Jika ada hoaks yang disebarkan oleh pemerintah, maka pemerintah harus bertanggung jawab atas hoaks tersebut.

"Kalau pemerintah salah tentang informasi kesehatan, diralat saja. Pergantian Menteri Kesehatan (Menkes) yang hari ini dilantik juga dalam rangka konteks seperti ini, yang menganggap sepele Covid-19. Mudah-mudahan Menkes ke depan bisa beradaptasi dengan situasi yang cepat berubah," ujar dia.

Selain itu, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi juga diminta bergerak. Dalam artian, perusahaan tersebut tidak menerima keuntungan dari berita palsu atau hoaks yang disebarkan. Dia menjelaskan, termasuk media massa yang juga perlu dibekali dengan literasi digital agar tidak terjadi kebobolan yang juga dapat menyebarkan berita hoaks.

"Media massa harus menjaga independensi, dan ada rubrik hoaks dan fakta sebagai bentuk kontribusi, sebagai media massa yang mendidik masyarakat," kata dia.

Dia juga mendorong  lembaga pendidikan untuk dapat berperan dalam meningkatkan literasi masyarakat agar tidak cepat percaya dengan hoaks. Terutama literasi bagi kaum millenial yang banyak berselancar di media sosial dimana gudangnya produksi hoaks.  "Selain itu juga melindungi diri sendiri dari hoaks. Pahami keberagaman perspektif setiap orang yang berbeda. Bersikap skeptis pada sumber berita,  terutama yang tidak dapat dipercaya," jelas dia.

Anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), Zainuddin Muda Z. Monggilo mengatakan, era saat ini merupakan era post-truth atau pasca-kebenaran yang berkembang cepat melalui media sosial. WhatsApp dan Facebook, katanya, menjadi salah satu platform yang menjadi sarang utama penyebaran hoaks di Indonesia.

"Kita terpolarisasi, ada kutub-kutub tertentu. Ada informasi yang luar biasa sengkarut yang dipaksakan terjadi di era pandemi. Ada hoaks tentang pandemi, ada hoaks tentang kesehatan," katanya.

Menurutnya, rendahnya literasi menjadikan masyarakat cepat percaya dengan hoaks. Ia menyebut, perempuan cenderung lebih rentan terpapar hoaks.

Mudahnya akses internet saat ini, juga menjadikan akses informasi yang lebih mudah dari berbagai sumber. Hal ini menyebabkan adanya luapan informasi baik itu dari sumber terpercaya maupun dari sumber yang tidak valid.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement