Kamis 17 Dec 2020 19:16 WIB

Epidemiolog Kritisi Prioritas Vaksin di Rentang 18-59 Tahun

Pemerintah dinilai menetapkan kebijakan vaksin hanya berdasarkan studi satu vaksin.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati, Zainur Mashir Ramadhan/ Red: Andri Saubani
Petugas kesehatan menyuntikan vaksin Covid-19 kepada seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) saat simulasi di lingkungan Kodam IX Udayana, Denpasar, Bali, Kamis (10/12). Pemerintah memprioritaskan vaksin Covid-19 untuk masyarakat pada rentang usia 18-59 tahun. (ilustrasi)
Foto: Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA
Petugas kesehatan menyuntikan vaksin Covid-19 kepada seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) saat simulasi di lingkungan Kodam IX Udayana, Denpasar, Bali, Kamis (10/12). Pemerintah memprioritaskan vaksin Covid-19 untuk masyarakat pada rentang usia 18-59 tahun. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menganalisis mengapa vaksinasi Covid-19 Sinovac di Indonesia diprioritaskan diberikan usia 18-59 tahun. Menurutnya, hal itu lantaran proses uji klinis vaksin dilakukan pada relawan berusia 18-59 tahun.

"Data uji klinis Vaksin Sinovac hanya dilakukan (pada relawan) berusia antara 18-59 tahun. Jadi, tidak mungkin diberikan diatas umur 59 tahun atau dibawah 18 tahun karena tidak ada informasi apakah cukup efektif, apakah cukup aman di usia selain itu," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (17/12).

Baca Juga

Artinya, dia menambahkan, pemerintah menetapkan kebijakan itu hanya berdasarkan studi satu vaksin saja. Padahal, ia menyebutkan vaksinasi lainnya seperti Pfizer bisa disuntikkan sampai usia 90 tahun. Ia menyebutkan Inggris yang mengeluarkan izin darurat Pfizer maka prioritasnya adalah usia tua karena vaksin pernah diberikan pada usia lanjut.

"Jadi tergantung jenis vaksinnya. Pemerintah Indonesia mendatangkan vaksin Sinovac meski kita belum tahu alasan didatangkan ke sini," katanya.

Ia mempertanyakan Vaksin Sinovac yang belum memiliki hasil uji klinis efikasi dan keamanannya namun terlebih dahulu didatangkan ke Tanah Air. Padahal, dia melanjutkan, pemilihan vaksin berdasarkan beberapa hal.

Pertama harus melihat efikasi yang paling tinggi. Ia menjelaskan, kalau efikasinya tinggi, tidak semua penduduk harus divaksinasi, mungkin hanya separuhnya atau lebih sedikit atau hanya 60 persen. Sebaliknya, semakin tinggi efikasinya maka semakin rendah jumlah penduduk yang harus divaksinasi.

"Waktu itu kan dihitung yang dapat vaksin sekitar 70 persen efikasinya jadi butuh 85 hingga 90 persen penduduk divaksinasi supaya mencapai herd immunity. Tetapi kalau kita pilih vaksin yang efikasinya 90 persen lebih maka yang harus disuntik itu lebih rendah cakupannya, mungkin cukup 60 persen," katanya.

Berbicata terpisah, pakar Epidemiologi dari UI, dr. Syahrizal Syarif meminta pemerintah mengubah kebijakan vaksinasi prioritas pada kelompok usia 18-59 tahun. Menurutnya, langkah dan jalan yang diambil pemerintah itu adalah salah.

"Sebaliknya, tenaga kesehatan dan orang lanjut usia yang harus menjadi prioritas vaksin Covid-19," ujar dia kepada Republika, kemarin.

Dia menegaskan, kebijakan yang diambil pemerintah menyoal kelompok usia 18-59 tahun semakin tidak jelas, dan salah jalan. Pasalnya, mayoritas negara, selain Indonesia, telah memiliki pemikiran jika vaksinasi yang efektif akan berperan penting pada tenaga kesehatan dan lansia.

"Kita malah lain sendiri," ucapnya.

Dirinya menganggap, jika pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya vaksinasi. Menyoal isu presiden yang akan dan telah berjanji menjadi orang pertama di Indonesia untuk divaksin, ia mendukungnya.

Bahkan, dr. Syahrizal juga meminta agar jajaran menteri dan pejabat lainnya di lingkungan pemangku kebijakan, bisa menjadi pihak yang masuk gelombang pertama untuk divaksinasi.

"Itu untuk memberi contoh bahwa vaksin itu aman," ungkap dia.

Sebelumnya, Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan berdasarkan rekomendasi penasehat imunisasi nasional atau Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), vaksin Covid-9 akan diberikan pada rentang usia 18 hingga 59 tahun.

"Sementara berdasarkan data kajian klinis dan rekomendasi ITAGI pada usia 18 hingga 59 tahun," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Selasa (15/12).

Meskipun demikian, pemerintah masih menunggu kajian dan data-data yang lebih akurat terkait peruntukan serta penggunaan vaksin buatan perusahaan farmasi Sinovac, China. Termasuk data dan kajian dari epidemiologi serta studi apakah bisa orang di atas usia 59 tahun atau pengidap penyakit penyerta mendapatkan vaksin.

Khusus pemberian vaksin pada anak-anak, Siti mengatakan hal itu masih perlu kajian mendalam. Sebab, hingga kini belum ada rekomendasi pemberian vaksin pada kelompok usia tersebut.

photo
Prioritas Sasaran Vaksin Covid-19 - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement