Kamis 17 Dec 2020 15:43 WIB

Mengurai Efek Samping Vaksin Pfizer

Gejala efek samping adalah upaya tubuh merespons vaksin yang disuntikkan.

Vaksin Pfizer-BioNTech. Pascapenyuntikan vaksin Pfizer ditemukan sejumlah gejala efek samping. Ahli mengatakan, efek samping biasanya hanya berlangsung selama satu hari atau lebih.
Foto: EPA-EFE/Michael Reynolds
Vaksin Pfizer-BioNTech. Pascapenyuntikan vaksin Pfizer ditemukan sejumlah gejala efek samping. Ahli mengatakan, efek samping biasanya hanya berlangsung selama satu hari atau lebih.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adysha Citra Ramadhani, Idealisa Masyrafina, Antara

Vaksin apapun tidak mungkin 100 persen efektif bisa diterima oleh masyarakat. Efek samping pun sangat mungkin timbul.

Baca Juga

Efek samping vaksin Covid-19 menjadi perhatian serius sebab vaksin ini dikembangkan dalam waktu yang sangat singkat. Secara umum butuh waktu bertahun-tahun bagi vaksin bisa diizinkan digunakan. Kondisi darurat namun telah mendorong sejumlah vaksin telah diberikan izin.

Salah satu efek samping vaksin yang menjadi sorotan adalah petugas medis Alaska yang mengalami alergi parah usai mendapatkan vaksin Pfizer. Ia kini kondisinya sudah stabil, menurut otoritas kesehatan, dikutip Kamis (17/12).

Reaksi negatif pada orang tersebut terjadi beberapa menit setelah disuntik vaksin Pfizer pada Selasa (15/12), sama dengan dua kasus yang terjadi di Inggris. Gejala pada pasien paruh baya itu sembuh setelah diberikan obat alergi epinephrine, kata Lindy Jones, direktur departemen darurat tempat pasien dirawat.

Pasien tersebut sebelumnya tidak memiliki riwayat reaksi alergi, kata Jones saat konferensi virtual. Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat mengimbau orang-orang dengan alergi agar berkonsultasi dengan dokter mereka guna memastikan tidak alergi dengan komponen vaksin apa pun.

Regulator obat Inggris awal Desember ini mengumumkan siapa pun yang memiliki riwayat anafilaksis atau reaksi alergi parah terhadap obat atau pun makanan, jangan diberi vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech. Pfizer mengklaim vaksin tersebut disertai peringatan yang jelas bahwa pengawasan dan pengobatan medis yang tepat harus selalu tersedia guna mengantisipasi anafilaksis.

Pfizer bahkan akan memperbarui bahasa pelabelan untuk vaksin tersebut jika diperlukan, seperti dikutip dari Reuters.

Vaksin Pfizer juga Moderna sudah mulai disuntikkan di beberapa negara. Di Amerika, Food and Drug Administration (FDA) sudah mendapatkan izin edar.

Rincian dari keamanan kedua vaksin tersebut belum sepenuhnya terpapar ke publik. "Sejauh ini, apa yang kami lihat dalam data hewan dan data dari uji klinis fase 1, 2, dan 3 (pada manusia) menunjukkan profil keamanan yang baik," ujar pakar penyakit menular dari Johns Hopkins Center for Health Security Amesh A Adalja MD, seperti dilansir Prevention.

Kedua vaksin ini memang sedikit berbeda. Akan tetapi, para ahli mengatakan efek samping yang mungkin terjadi tak jauh berbeda. Efek samping tersebut adalah nyeri pada tangan yang mendapatkan suntikan, demam, merasa lelah, sakit kepala, nyeri sendi, atau nyeri otot.

"Ini mirip seperti apa yang Anda perkirakan dengan vaksin flu," kata profesor sekaligus kepala departemen penyakit menular dari University of Bufallo Thomas Russo MD.

Bila terjadi, Russo mengatakan, efek samping biasanya hanya berlangsung selama satu hari atau lebih. Russo juga menekankan bahwa efek samping yang timbul bukanlah suatu kondisi yang serius atau mengkhawatirkan.

Di sisi lain, vaksin Covid-19 merupakan sesuatu yang baru. Oleh karena itu, efek samping jangka panjang dari vaksin ini masih belum benar-benar dipahami. Oleh karena itu, Russo mengatakan, para pembuat vaksin dan FDA akan terus mengumpulkan data terperinci setelah vaksin dirilis kepada publik.

Moderna dan Pfizer telah mengungkapkan seberapa besar kemungkinan dari aneka efek samping terjadi pada orang yang menerima vaksin. Berikut ini adalah rinciannya:

Potensi efek samping vaksin Covid-19 Moderna

1. Kelelahan (9,7 persen)

2. Nyeri otot (8,9 persen)

3. Nyeri sendi (5,2 persen)

4. Sakit kepala (4,5 persen)

5. Nyeri (4,1 persen)

6. Nyeri pada area yang disuntik (2,7 persen)

7. Kemerahan pada area yang disuntik (2 persen)

Potensi efek samping vaksin Covid-19 Pfizer

1. Kelelahan (3,8 persen)

2. Sakit kepala (2 persen)

Sama seperti vaksin lainnya, pemberian vaksin Covid-19 tidak akan membuat penerimanya jadi terkena Covid-19. Gejala efek samping yang terjadi hanya menunjukkan bahwa tubuh sedang belajar untuk memberikan respons terhadap virus penyebab Covid-19, yakni SARS-CoV-2.

Spesialis penyakit menular dan profesor dari Vanderbilt University School of Medicine William Schaffner MD mengatakan, pemberian dosis vaksin yang kedua mungkin akan memberikan lebih banyak efek samping dibandingkan pemberian pertama. "Kami ingin semua orang tahu sehingga mereka tidak merasa kecewa atau khawatir (karena mengira dirinya) terkena Covid-19 (setelah vaksin)," ujar Schaffner.

Kebanyakan orang yang mendapatkan vaksin Covid-19 disebut akan mengalami efek samping, terutama setelah dosis kedua. Dilansir dari USA Today, tiga kandidat vaksin melaporkan efek samping ringan atau sedang, kebanyakan nyeri di tempat suntikan, kelelahan, dan nyeri otot dan persendian selama satu atau dua hari.

"Lengan yang sakit dan merasa sesak selama satu atau dua hari masih jauh lebih mendingan daripada Covid-19," kata Schaffner.

Menurut para ahli medis, jika seseorang akan mengalami reaksi buruk terhadap suatu vaksin, kemungkinan besar terjadi dalam enam pekan pertama setelah vaksinasi. Namun, para ahli masih belum mengetahui efek jangka panjang dari vaksin.

Hal itu tidak akan terungkap sampai uji coba selesai. Para peneliti masih akan memantau penerima vaksin Covid-19 selama bertahun-tahun setelahnya.

Negara-negara di dunia memang sedang berlomba-lomba memesan vaksin Covid-19 untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Tapi, satu dari empat orang populasi dunia mungkin tidak akan mendapatkan vaksin Covid-19 sampai setidaknya tahun 2022.

Alasannya, negara-negara kaya dengan kurang dari 15 persen populasi global telah mencadangkan 51 persen dari dosis vaksin yang paling menjanjikan. Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang menjadi rumah bagi lebih dari 85 persen populasi dunia harus berbagi sisanya. Pernyataan ini disampaikan para peneliti dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat.

Tanggapan yang efektif terhadap pandemi membutuhkan negara-negara berpenghasilan tinggi untuk berbagi dalam distribusi yang adil dari vaksin Covid-19 di seluruh dunia, tulis mereka.

"Ketidakpastian akses global ke vaksin Covid-19 tidak hanya berasal dari pengujian klinis yang sedang berlangsung. Tetapi juga dari kegagalan pemerintah dan produsen vaksin untuk lebih transparan dan bertanggung jawab atas pengaturan ini," tambah mereka.

Pada 15 November, negara-negara berpenghasilan tinggi telah memesan hampir 7,5 miliar dosis vaksin dari 13 produsen, kata surat kabar itu. Ini termasuk Jepang, Australia, dan Kanada yang secara kolektif memiliki lebih dari satu miliar dosis tetapi menyumbang kurang dari satu persen dari kasus virus corona baru saat ini.

Bahkan jika vaksin produsen terkemuka mencapai proyeksi kapasitas produksi maksimum mereka, hampir 25 persen populasi dunia mungkin tidak akan mendapatkan vaksin untuk satu tahun lagi atau lebih, menurut surat kabar itu.

Koalisi People's Vaccine Alliance pekan lalu mengatakan perusahaan farmasi harus secara terbuka membagikan teknologi dan kekayaan intelektual mereka melalui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sehingga lebih banyak dosis dapat diproduksi. Para peneliti John Hopkins mengatakan Fasilitas COVAX WHO dapat memainkan peran kunci dalam memastikan akses yang lebih adil ke vaksin yang disetujui tetapi hanya mengamankan 500 juta dosis. Angka itu jauh di bawah targetnya untuk memberikan setidaknya dua miliar dosis pada akhir 2021.

Diluncurkan pada April, pakta global tersebut bertujuan untuk mengumpulkan dana dari negara-negara kaya dan organisasi nirlaba untuk mempercepat pengembangan dan pembuatan vaksin Covid-19 dan mendistribusikannya secara merata di seluruh dunia. Sejauh ini pakta tersebut telah mendapatkan setengah dari dana yang dibutuhkan. Amerika Serikat serta Rusia, dua pemain kunci dalam pengembangan dan pembuatan vaksin belum bergabung, kata studi Johns Hopkins.

photo
Inggris restui penggunaan darurat vaksin Covid-19 yang dikembangkan Pfizer dan BioNTech. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement