Rabu 16 Dec 2020 17:57 WIB

MAKI Minta KPK Pakai Pasal dengan Ancaman Mati untuk Juliari

Hari ini, MAKI menyerahkan bukti pemotongan bansos Covid-19 kepada KPK.

Rep: Rizkyan Adiyudha, Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menunjukkan surat laporan dugaan korupsi penyaluran bantuan sosial Covid-19 Kementerian Sosial di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (16/12). Berdasarkan penelusuran MAKI, paket Bansos COVID-19 yang disalurkan kepada masyarakat oleh Kementerian Sosial berupa 10 kilogram beras, dua liter minyak goreng, dua kaleng sarden 188 gram, satu kaleng roti biskuit kelapa 600 gram, satu susu bubuk kemasan 400 gram dan satu tas kain tersebut hanya seharga Rp188 ribu dari nominal yang seharusnya bernilai Rp300 ribu. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menunjukkan surat laporan dugaan korupsi penyaluran bantuan sosial Covid-19 Kementerian Sosial di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (16/12). Berdasarkan penelusuran MAKI, paket Bansos COVID-19 yang disalurkan kepada masyarakat oleh Kementerian Sosial berupa 10 kilogram beras, dua liter minyak goreng, dua kaleng sarden 188 gram, satu kaleng roti biskuit kelapa 600 gram, satu susu bubuk kemasan 400 gram dan satu tas kain tersebut hanya seharga Rp188 ribu dari nominal yang seharusnya bernilai Rp300 ribu. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta KPK mendakwa Menteri Sosial Juliari Batubara dengan pasal Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. MAKI menilai bahwa ada kerugian negara dari nilai bantuan sosial (bansos) yang seharusnya diterima masyarakat.

"Kami dan masyarakat luas meminta KPK untuk melakukan konstruksi unsur Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Korupsi di mana pelaku korupsi kualifikasi pemberatan keadaan tertentu bencana alam dengan opsi dituntut hukuman berat setidaknya seumur hidup dan atau hukuman mati," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Jakarta, Rabu (16/12).

Baca Juga

Hal tersebut dia sampaikan saat menyerahkan barang bukti terkait dugaan adanya korupsi bansos pandemi Covid-19. Dia mengungkapkan bahwa ada kerugian negara sebesar Rp 33 ribu yang berasal dari selisih paket sembako dari anggaran pemerintah dengan yang didapatkan masyarakat.

Dia merinci, anggaran paket bansos dari pemerintah adalah Rp 300 ribu. Anggaran itu dipotong penyelenggara/Kemensos Rp 15 ribu untuk transpor dan Rp 15 ribu untuk goody bag. Artinya, vendor mendapatkan Rp 270 ribu dengan keuntungan dan pajak semestinya maksimal hingga 20 persen sebesar Rp 54 ribu.

Sedangkan, barang yang diterima masyarakat senilai Rp 188 ribu sehingga terdapat selisih sekitar Rp 23 ribu. Untuk goody bag yang disediakan juga terdapat selisih sekitar Rp 5.000 dari harganya anggaran Rp 15 ribu.

"Dengan demikian, selisih harga barang sekitar Rp 28 ribu ditambah selisih harga goody bag sekitar Rp 5.000 maka uang yang diduga menjadi kerugian negara sekitar Rp 33 ribu," katanya.

Bansos senilai Rp 188 ribu itu lantas dibelanjakan minyak Goreng Rose Brand 2 liter sekitar Rp 22 ribu, susu Indomilk Full Cream 400 gram sekitar Rp 44 ribu, Nisin Kelapa Ijo 600 gram sekitar Rp 30 ribu, dua sarden Vitan 155 gram dengan harga satuan sekitar Rp 6.000, dan beras 10 kg dengan harga perkilo sekitar Rp 8.000.

Boyamin melanjutkan, MAKI meminta KPK memulai penyelidikan dan penyidikan baru dengan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagaimana rumusan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

"KPK semestinya memahami suasana kebatinan masyarakat," kata Boyamin yang datang ke KPK untuk menyerahkan barang bukti fisik sembako bansos Covid-19.

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, Menteri Sosial Juliari Batubara bisa diancam dengan hukuman mati. Ancaman hukuman mati bisa diberikan kepada Juliari jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU Nomor 31 tahun 1999 pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati," ujar Firli di Gedung KPK, Ahad (6/12) dini hari.

Selama masa pandemi Covid-19, kata Firli, pihaknya juga terus mengimbau bahkan mengancam agar semua pihak agar tidak menyalahgunakan bansos, sebab ancaman hukumannya adalah mati. Terlebih, sambung Firli, pemerintah juga telah menetapkan pandemi virus Corona Covid-19 ini sebagai bencana nonalam.

"Kita paham juga bahwa pandemi Covid-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana nonalam, sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini, apa yang kita lakukan, kita masih akan terus bekerja terkait dengan bagaimana mekanisme pengadaan barang jasa untuk bantuan sosial di dalam pandemi Covid-19," tegas Firli.

Namun, seperti diketahui, saat ini Menteri Juliari oleh KPK disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Juliari bersama empat orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengadaan bansos Covid-19. KPK menduga Juliari menerima suap senilai Rp 17 miliar dari fee pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek.

photo
Korupsi Bansos Menjerat Mensos - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement