Rabu 16 Dec 2020 17:07 WIB

Epidemiolog Minta Kebijakan Vaksinasi Usia 18-59 Diubah

Kebijakan vaksin Indonesia dinilai lain sendiri dari negara lain.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Indira Rezkisari
Kendaraan melintas di dekat baliho sosialisasi manfaat vaksinasi Covid-19 di kawasan Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (15/12). Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memperpanjang pengawasan terhadap efikasi maupun efek samping vaksin Covid-19 yang memungkinkan pengumuman keberhasilan atau tidaknya uji klinis tahap tiga vaksin Covid-19 itu terhadap relawan akan ikut mundur ke Maret 2021. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kendaraan melintas di dekat baliho sosialisasi manfaat vaksinasi Covid-19 di kawasan Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (15/12). Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memperpanjang pengawasan terhadap efikasi maupun efek samping vaksin Covid-19 yang memungkinkan pengumuman keberhasilan atau tidaknya uji klinis tahap tiga vaksin Covid-19 itu terhadap relawan akan ikut mundur ke Maret 2021. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia, dr Syahrizal Syarif, meminta pemerintah mengubah kebijakan vaksinasi prioritas pada kelompok usia 18-59 tahun. Menurutnya, langkah dan jalan yang diambil pemerintah itu adalah salah.

"Sebaliknya, tenaga kesehatan dan orang lanjut usia yang harus menjadi prioritas vaksin Covid-19," ujar dia kepada Republika, kemarin.

Baca Juga

Dia menegaskan, kebijakan yang diambil pemerintah menyoal kelompok usia 18-59 tahun semakin tidak jelas dan salah jalan. Pasalnya, mayoritas negara, selain Indonesia, telah memiliki pemikiran jika vaksinasi yang efektif akan berperan penting pada tenaga kesehatan dan lansia.

"Kita malah lain sendiri," ucapnya.

Dia menganggap, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya vaksinasi. Menyoal isu Presiden yang akan dan telah berjanji menjadi orang pertama di Indonesia untuk divaksin, ia mendukungnya.

Bahkan, dr Syahrizal juga meminta agar jajaran menteri dan pejabat lainnya di lingkungan pemangku kebijakan bisa menjadi pihak yang masuk gelombang pertama untuk divaksinasi. "Itu untuk memberi contoh bahwa vaksin itu aman," ungkap dia.

Ketika ditanya peningkatan kasus harian Covid-19 di Indonesia yang selalu melonjak dan memuncaki kawasan ASEAN, ia tak menampik. Menurutnya, hal itu memang dikarenakan longgarnya pembatasan sosial dan kurang efektifnya upaya pencegahan dari pemerintah.

"Ya kira-kira begitu. Kita masih malu mengakui kalau gagal mengendalikan Covid-19,’’ tuturnya.

Sebagai informasi, mengutip data Our World in Data dengan pembaruan pada Rabu (16/12), kasus pekanan sejak 7 Desember hingga 13 Desember di Indonesia mencapai 42.024 kasus. Jumlah kasus pekanan itu, berbanding terbalik dengan Thailand, Singapura, hingga Vietnam.

Di periode yang sama, Thailand hanya mencatatkan 130 kasus infeksi Covid-19. Sementara, Singapura mencatatkan kasus mingguan 60 kasus dan Vietnam 31 kasus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement