REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Nursyamsi, Intan Pratiwi, Novita Intan
Vonis bagi para pelaku kejahatan keuangan di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sudah dijatuhkan sejak bulan Oktober. Kepastian pengembalian uang nasabah Jiwasraya yang menjadi korban namun masih jauh dari harapan. Mereka menuntut pula pertanggungjawaban Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tujuh bank yang menjadi penyalur produk Jiwasraya Saving Plan yang sudah merugikan nasabah.
Anggota Forum Korban Jiwasraya, Lee Kanghyun, mendesak OJK dan bank penyalur harus ikut bertanggungjawab di dalam penyelesaian masalah yang dilakukan melalui pelaksanaan program restrukturisasi polis Jiwasraya. Lee menilai OJK dan bank pasif tidak memberi solusi apapun bagi nasabah.
"Pemerintah cari kesalahan dari bank, bank punya duit. Harusnya tujuh bank itu tegur suruh bayar. Kenapa pemerintah diam, kenapa OJK diam," ujar Lee dalam jumpa pers secara virtual pada Senin (14/12).
Lee mengatakan, dari tujuh bank yang menjadi penyalur produk Jiwasraya Saving Plan baru satu bank yang bersedia bertanggungjawab. Hanya saja, upaya pertanggungjawaban bank tersebut ditolak OJK dengan alasan yang tidak jelas.
"OJK ngapain? Suruh tujuh bank tanggung jawab, ambil tindakan. Tapi kenapa diam, dalam OJK bank dan non bank tidak bisa komunikasi," ungkap Lee.
Selain dinilai lepas tangan, Lee juga menyoroti kinerja OJK yang telah menerbitkan izin produk Jiwasraya Saving Plan meski saat itu Jiwasraya dalam keadaan yang tidak sehat. "Karena Bancassurance ini waktu menjual produk ini, kalau memang diketahui 100 persen bahayanya, bagaimana dan nanti kalau kejadian rugi? Nanti penanggungjawabnya gimana?" ucap Lee.
Senada dengan Lee, Kerman salah satu pemegang polis Jiwasraya Saving Plan juga menyesalkan sikap bank dan OJK yang dinilai acuh terhadap nasib para pemegang polis Jiwasraya Saving Plan pasca Jiwasraya mengalami gagal bayar. Untuk itu, Kerman pun mendesak agar jajaran Bank juga mengupayakan solusi untuk menyelesaikan tunggakan Jiwasraya.
"Kalau dilihat kronologis, kami harapkan pertanggungjawaban bank karena bagaimanapun kami beli dari mereka. Kami ditawarkan bahwa produk ini adalah produk asuransi dari BUMN asuransi yang sehat. Bukan produk bermasalah dari perusahaan yang sakit," kata Kerman.
Tujuh bank penjual produk Jiwasraya Saving Plan seperti BRI, BTN, Standard Chartered, Hana, QNB, ANZ, dan Victoria juga dianggap harus ikuat bertanggung jawab. Nasabah Jiwasraya Amin mengatakan selama ini sorotan hanya mengarah kepada pemerintah, manajemen Jiwasraya, dan OJK. Padahal, kata Amin, bank penyalur juga memiliki andil lantaran menjadi pihak pertama yang berhubungan dengan nasabah saving plan.
"Bank salah satu titik pertama, terutama nasabah saving plan masuk ke Jiwasraya, kan harus lewat bank biar bisa masuk ke produk saving plan," ujar Amin.
Hal senada disampaikan nasabah lainnya, Kerman yang mengharapkan tanggung jawab dari bank penyalur. Pasalnya, kata Kerman, bank penyalur lah yang menawarkan produk saving plan Jiwasraya kepada para nasabah.
"Kami sangat mengharapkan tanggung jawab bank karena bagaimana pun kami beli produk dari mereka dan kami ditawarkan bahwa produk ini produk asuransi dari BUMN sehat, bukan produk bermasalah dari perusahaan yang sakit," ucap Kerman.
Kerman menyesalkan sikap OJK yang memberikan izin terhadap produk Jiwasraya mengingat di saat yang sama kondisi keuangan Jiwasraya sudah bermasalah sejak 2004. "Kalau sudah tahu perusahaan tidak sehat dan tetap dijual ke kita ya kita minta pertanggung jawaban moral untuk nasabah, karena produk ini dijual lewat bank," lanjut Kerman.
Nasabah lain, Weli, mengatakan bank tidak pernah mengakomodir para pemegang polis. Weli juga menyoroti dugaan mis-selling atau menjual suatu produk yang belum memenuhi persyaratan dan penjualan tersebut telah menjadi sumber utama kerugian konsumen yang dilakukan bank. Kata Weli, para korban awalnya ditawari produk deposito, namun kemudian justru dimasukan ke dalam produk asuransi.
"Korban Jiwasraya mereka banyak pada waktu awal diiming-imingi deposito bukan asuransi, yang ditawarkan itu deposito bukan asuransi, dari deposito dimasukan ke polis asuransi. Selama ini bank minim sekali diakomodir pemegang polis, setiap kali kita tanya mereka selalu menunggu Jiwasraya," ucap Weli.
Nasabah yang lain, Oerianto, menilai dalam peraturan OJK dan undang-undang perasuransian telah mengatur dalam produk bancassurance, bank harus memastikan kondisi kesehatan perusahaan asuransi.
"Kalau menurut saya jelas-jelas mis-selling karena jelas OJK sudah katakan sejak 2004 Jiwasraya JS sudah insolvensi. Ini jelas sudah diketahui dari awal, mis-selling bukan hanya dari bank tapi dari OJK," kata Oerianto.
Nasabah lainnya, Rubby, menyebut bank penyalur masih mendapatkan fee dari Jiwasraya hingga Maret 2020. Hal tersebut berkebalikan dengan kondisi Jiwasraya maupun nasabah yang mengalami kesulitan.
"Pada saat nasabah sudah gigit jari sejak Oktober 2018, bank penyalur masih dapat hak hingga Maret, jelas Jiwasraya merasa dirugikan, nasabah juga dirugikan, bank dengan enaknya menikmati keuntungan," ucap Rubby.
Lee Kanghyun, meminta OJK, Jiwasraya, dan bank bekerja sama dalam mengembalikan dana nasabah. Lee membandingkan pengawasan ketat yang dilakukan OJK Korea Selatan (Korsel) dengan OJK Indonesia. Lee menyebut seluruh bank dan perusahaan asuransi di Korsel sangat diawasi ketat dan harus mengikuti peraturan OJK Korsel. Lee mengatakan kasus seperti yang terjadi pada Jiwasraya juga pernah terjadi di Korsel.
"Di Korea sudah kejadian beberapa kali hampir sama, tetapi OJK (Korsel) sudah memeriksa dan memberikan ketegasan kepada bank atau mungkin perusahaan asuransi secara hukum, akhirnya CEO bank atau CEO asuransi ditangkap dan uang yang dirugikan ke nasabah itu suruh dibayar oleh bank dan asuransi," ucap Lee.
Lee menyebut OJK melakukan tindakan yang salah dengan mengizinkan produk asuransi yang tidak sehat. OJK, kata Lee, juga lalai dalam melakukan pengawasan secara ketat hingga akhirnya terjadi persoalan pada produk Jiwasraya.
"Tugas OJK memberikan kabar yang jelas dan rencana masa depan atas nama OJK itu tidak pernah, itu salah juga. OJK ngapain, suruh tujuh bank tanggung jawab itu ambil tindakan, tapi kenapa (OJK) diam," kata Lee.
Selain menuntut pertanggungjawaban OJK dan bank penyalur, nasabah mempertanyakan pula skema restrukturisasi polis Jiwasraya ke IFG Life. Forum Korban Jiwasraya melalui nasabah Jiwasraya, Roganda Manolang, mengatakan nasabah pemegang saham polis Jiwasraya Saving Plan melalui tujuh bank penjual menilai skema restrukturisasi polis tidak dijelaskan secara gamblang kepada pemegang polis.
Roganda menyampaikan rancangan skema restrukturisasi tidak pernah didiskusikan bersama nasabah. "Nasabah hanya disodori hasil akhir yang tidak ada satu pun opsi yang adil bagi kami. Narasi komunikasi Jiwasraya dengan nasabah tidak persuasif bahkan intimidatif," ujar Roganda.
Ia mengatakan kasus gagal bayar Jiwasraya murni kesalahan tata kelola perusahaan dan lemahnya pengawasan dari pemerintah dan OJK sebagai regulator. Ia menyebut nasabah tidak memiliki kesalahan apa pun. Namun begitu, Roganda mempertanyakan nasabah harus menerima potongan sedangkan pihak-pihak yang tidak menjalankan fungsi dan perannya tidak menerima paycut.
Roganda menyebut munculnya produk Jiwasraya yang beberapa ahli disebut sebagai produk asuransi ilegal tidak terlepas dari tanggung jawab OJK sebagai pemberi izin sekaligus pengawas. "Oleh karena itu, kami menuntut pertanggungjawaban OJK menyelesaikan kasus Jiwasraya ini dengan mengutamakan kepentingan korban yang bergantung pada kredibilitas OJK dalam memberikan izin dan melakukan pengawasan," ucap Roganda.
Roganda menambahkan, nasabah saving plan diperlakukan paling tidak adil dibandingkan dengan nasabah Jiwasraya lainnya. Padahal, dia katakan, nasabah saving plan juga merupakan korban.
"Kami (nasabah saving plan) ditawarkan skema penyelesaian cicilan 15 tahun tanpa bunga atau cicilan 5 tahun tanpa bunga dengan potongan antara 29 persen sampai 31 persen, sedangkan nasabah lainnya dicicil dengan bunga yang dipotong lima persen," lanjutnya.
Forum Korban Jiwasraya, ucap Roganda, menolak opsi restrukturisasi yang ditawarkan karena tidak mengutamakan azas keadilan dan win-win solution. Roganda menilai semua opsi yang ditawarkan sangat memberatkan nasabah.
"Kami mengharapkan solusi penyelamatan yang benar-benar win-win, salah satunya dengan melibatkan bank penjual melalui pinjaman tanpa bunga dengan jaminan polis Jiwasraya," ucap Roganda.
Kata Roganda, OJK perlu bertindak untuk mediasi nasabah dengan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali agar tercipta skema yang adil. Roganda menyebut cerminan tanggung jawab negara selaku pemegang saham 100 persen Jiwasraya dipertaruhkan pada skema restrukturisasi ini.
"Kepercayaan terhadap investasi BUMN dan negara juga terhadap asuransi dan lembaga keuangan lainnya dipertaruhkan," kata Roganda menambahkan.
Pada akhir bulan lalu dalam rapat bersama Komisi VI, Menteri BUMN, Erick Thohir mengatakan berkomitmen bisa menyelamatkan semua nasabah asuransi Jiwasraya. Ia memastikan semua proses hukum yang sedang berjalan tidak tumpul ke atas.
"Kami pastikan bahwa negara hadir untuk bisa menyelesaikan semua persoalan Jiwasraya. Kami pastikan semua keamanan nasabah Jiwasraya," ujar Erick, Senin (30/11).
Dalam rapat tersebut Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko, memastikan pula semua nasabah Jiwasraya akan direstrukturisasi. Namun, ada empat opsi yang bisa diambil oleh para nasabah.
"Resturkturisasi ini perlu dilakukan agar polis bisa sehat dan perusahaan baru bisa berjalan dengan sehat. Tapi kami pastikan, kami akan membayarkan semuanya 100 persen. Tapi karena keterbatasan dana, maka ini perlu dicicil," ujar Hexana.
Lebih lanjut Hexana menuturkan empat opsi tersebut yakni pertama, Jiwasraya akan mencicil pengembalian polis selama 15 tahun. Opsi kedua, apabila nasabah ingin dikembalikan secara cepat, maka perlu ada penyesuaian tunai terlebih dahulu.
"Setelah disesuaikan maka baru kita cicil lima tahun. Ketiga, apabila memang ingin cash, maka itu sesuai kemampuan kita berapa, berapa kita sanggup bayar di depan lalu kita cicil lima tahun," ujar Hexana.
Namun, apabila ada nasabah yang tidak ingin direstrukturisasi melalui IFG Life, maka nasabah bisa tetap tinggal di Jiwasraya. Hanya saja, untuk pembayaran polis akan memakai aset yang memang seadanya dimiliki oleh Jiwasraya.
"Kalau setuju restrukturisasi maka diselamatkan oleh IFG Life, tapi jika tidak mau restrukturisasi, maka tetap tinggal di Jiwasraya dengan operasional kami yang sangat terbatas tidak lagi sebagai life insurance tetapi hanya mengelola utang. Diselesaikan dengan aset tersisa saja," papar Hexana.
Langkah ini dinilainya paling strategis mengingat keterbatasan dana yang juga dipunya oleh pemerintah. Sebab, dana tersebut tidak hanya untuk mengembalikan dana nasabah tetapi juga untuk membangun IFG Life (perusahaan baru bentukan pemerintah) agar tetap sehat.
Kasus gagal bayar dana nasabah Jiwasraya merugikan negara hingga Rp 37 triliun. Akibatnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada enam terdakwa kasus korupsi Jiwasraya.
Terdakwa yaitu mantan Direktur Utama Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Syahmirwan, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, telah dijatuhi vonis terlebih dahulu pada 12 Oktober 2020. Sedangkan, dua terdakwa lainnya yaitu Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, baru dijatuhi vonis oleh majelis hakim, pada 26 Oktober 2020. Semuanya diganjar hukuman penjara seumur hidup.