Ahad 13 Dec 2020 11:33 WIB

Polemik HRS: Memahami Masalah, Gejala, dan Pengobatan

HRS mampu mencuri ruang yang ditinggalkan negara di hati masyarakat.

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai diperiksa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (13/12/2020) dini hari. Rizieq Shihab ditahan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk kepentingan penyidikan perkara kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 terkait kerumunan di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta pada 14 November lalu. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.
Foto:

Oleh : Ábdullah Sammy, Jurnalis Republika

Masalah negara dengan kelompok Islam sejatinya masih sama hingga kini. Sejumlah kelompok Islam masih merasa berjarak, baik secara ekonomi, politik, dan keadilan. Mereka yang merasa berjarak dan diperlakukan tidak adil, akhirnya merasa terwakili oleh narasi yang dibawa HRS. HRS mampu mencuri ruang yang ditinggalkan negara di hati masyarakat yang merasa menjadi warga kelas dua.

Jarak antara kelompok Islam dan ceruk perekonomian, politik, dan keadilan dinilai merupakan warisan dari sistem politik era kolonial. Robinson (1986) menilai perekonomian Indonesia sejak era kolonial telah diklaster.

Akumulasi kekuasaan hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok tertentu. Situasi yang terus bertahan hingga era Orde Baru.

Inklusivitas politik dan ekonomi sejak awal tidak terbentuk di negeri ini. Akibatnya banyak kelompok Islam yang merasa terpinggirkan. Acemoglu dan Robinson (2012) mengatakan, selama sistem politik dan ekonomi yang dibangun sebuah negara bersifat estraktif/tidak inklusif maka negara itu akan berujung pada kegagalan.

Sebagai contoh Amerika Latin yang kaya sumber daya alam nyatanya jauh lebih terbelakang dari benua Amerika di Utara (Kanada dan AS) yang SDA-nya justru terbatas. Sebab AS dan Kanada lebih inklusif dibandingkan Latin yang ekstraktif yang mana ekonominya lebih terpusat kepada segelintir elite.

Walhasil tesis Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan bahwa semakin tidak inklusif (ekstraktif) sebuah negara maka akan semakin rawan konflik. Semakin tidak inklusif, negara semakin menuju kepada kegagalan. Ini sesuai dengan judul buku yang ditulis Acemoglu dan Robinson, Why Nation Fail. 

Inklusivitas pada kelompok Islam inilah yang menjadi persoalan sejak era kolonial. Lantas bagaimana mencari obat dari masalah inklusivitas ini? Rasanya untuk menjawab pertanyaan ini bisa dikaji dari dua sisi, yakni political will dari pemerintah dan komitmen kelompok Islam sendiri.

Kelompok Islam perlu serius dalam berkontemplasi. Apa yang disampaikan Robinson (1986) terkait warisan penumpukan modal dan kekuasaan politik pada kelompok tertentu tak bisa menjadi alasan utama. Apalagi jika kemudian kelompok Islam mengarahkan sentimennya pada etnis tertentu.

Memang dalam pandangannya Robinson sempat menyinggung soal etnis tertentu yang sejak era kolonial mendapat tempat khusus. Hal yang menurut Robinson semakin menjadi di era Orde Baru.

Namun mengutip artikel yang ditulis Chatib Basri (1994) nyatanya pasangan Robinson tak sepenuhnya tepat. Sebaliknya kalangan etnis tertentu itu justru kerap mendapatkan kerugian, seperti dalam kasus monopoli cengkeh di era Orde Baru. Munculnya sejumlah pengusaha etnis tertentu di era Orde Baru dinilai tidak mewakili faktor ras, melainkan sekadar kedekatan person to person.

Sebaliknya, dalam situasi serba tertekan, etnis tertentu yang minoritas justru mampu bekerja dan berusaha jauh lebih ulet. Jadi tak seharusnya kelompok Islam menebar sentimen kepada kalangan yang memang teruji telah bekerja dan berusaha lebih keras. Di sisi lain, sisi keseriusan umat Islam dalam berusaha mengubah situasi warisan kolonial ini masih sangat dangkal.

Kita melihat fakta tersebut dengan merujuk kualitas manusia yang tergambar dari kualitas pendidikan. Merujuk daftar sekolah terbaik di Indonesia, kita bisa melihat kualitas sekolah Islam jauh tertinggal dari sekolah umum dan non-Islam.

Merujuk data Kemendikbud tahun 2019, dari daftar 20 sekolah terbaik di Indonesia, 13 di antaranya adalah sekolah non-Islam. Hanya ada dua madrasah yang masuk 20 besar. Sisanya hanya ada lima sekolah negeri yang masuk daftar sekolah terbaik.

Melihat fakta itu jangan heran jika kemudian kelompok Islam terpinggirkan. Sebab secara kualitas, harus diakui pendidikan kelompok Islam masih tertinggal. Situasi ini yang hendaknya menjadi atensi serius seluruh ormas Islam maupun pemerintah.

Ormas Islam harus lebih serius dalam merespons persoalan terkait peningkatan kualitas pendidikan. Jangan justru lebih larut pada kepentingan jangka pendek, seperti politik.

Di sisi lain, sudah semestinya pemerintah memprioritaskan peningkatan mutu pendidikan kepada kelompok yang selama ini terpinggirkan. Jadi sangat masuk akal pula ketika ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah sangat kecewa ketika dana hibah pemerintah justru dialokasikan kepada organisasi kapital besar.

Langkah Muhammadiyah dan NU itulah bersuara soal anggaran pendidikan inilah yang sejatinya memperjuangkan kepentingan besar kelompok Islam. Perjuangan yang jauh lebih krusial ketimbang berteriak-teriak soal politik praktis. Sebab politik tak ada artinya tanpa penguasaan ekonomi.

Kualitas ekonomi tak akan tercipta dengan kualitas pendidikan yang pas-pasan. Jadi memperjuangkan pendidikan adalah kunci memecah masalah inklusivitas.

Naiknya mutu pendidikan umat Islam sama dengan menaikkan mutu pendidikan Indonesia secara umum. Menaikkan tingkat pendidikan juga memperbesar inklusivitas ekonomi. Jika inklusivitas tercipta maka masalah utama sebuah negara akan tepecahkan.

Namun tak hanya pendidikan yang perlu dibenahi. Secara jangka pendek pemerintah harus serius dalam menata hubungan antarwarga negara. Ini untuk memupus kesan bahwa kelompok Islam adalah warga kelas dua. Sebagai contoh bagaimana hukum yang harus adil diterapkan tak hanya pada kelompok Islam tertentu, melainkan pada semua.

Selain faktor keadilan, di sisi politik pun sejumlah kelompok Islam masih merasakan jarak. Sekalipun Jokowi memilih wapres saat ini dari kalangan ulama, namun secara umum sejumlah ormas masih merasa kurang dirangkul di pemerintahan.

Bahkan ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan lainnya merasa hanya dirangkul pemerintah ketika perlu saja. Kontribusi ormas Islam secara politik kebangsaan masih kurang mendapat atensi pemerintah.

Walhasil, mengatasi masalah tak akan berakhir dengan sekadar memenjarakan HRS. Karena fenomena HRS hanya sekadar gejala dari sebuah persoalan yang lebih besar dan kompleks. Sebab jika hanya sekadar mengatasi HRS atau FPI, niscaya akan muncul lagi tokoh atau organisasi berbeda dengan narasi yang mungkin sama.

Karena persoalan sesungguhnya adalah jarak kelompok Islam atas pendidikan, ekonomi, kekuasaan, serta keadilan yang layak. Seperti isi sila terakhir dalam Pancasila yang memang masih menjadi PR besar bangsa ini sejak pertama kali berdiri, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Pada akhirnya menjadi omong kosong menarasikan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, atau kerakyatan jika minus keadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement