REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengkritisi langkah penguntitan terhadap petinggi Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia menganggap langkah penguntitan terhadap pelanggar protokol kesehatan itu berlebihan dan menyebabkan bentrokan yang menewaskan enam laskar FPI pada Senin (7/12) dini hari.
"Penguntitan terhadap dugaan pelaku pelanggaran protokol kesehatan atau yang dianggap misalnya kerumunan yang kemarin itu, sampai dengan adanya beberapa orang tewas itu, dapat dikualifikasi cukup berlebihan," ujar Suparji saat dihubungi melalui telepon, Jumat (11/12).
Suparji mempertanyakan sebetulnya apa urgensi penguntitan itu. ia mempertanyakan apakah HRS ditakutkan melarikan diri atau menyembunyikan diri dan sebagainya.
"Yang jadi pertanyaan menarik, urgensi dari penguntitan itu apa? Apakah memang kaitannya dari proses pemanggilan yang belum datang itu atau kemudian ada faktor yang lain?" ujar Suparji.
Kemudian terlepas dari apakah para penegak hukum mempertahankan diri dari penyerangan dan sebagainya, Suparji menyayangkan tewasnya enam orang tersebut. Kalau dalam konteks mempertahankan diri karena ada serangan mestinya bisa membela diri atau melumpuhkan lawan, bukan membunuhnya.
"Ini yang patut diperhatikan," kata Suparji.
Suparji, jika penguntitan dilakukan sedemikian rupa maka wajar jika masyarakat menduga ada hal lain atau misi lain yang tengah dikejar oleh kepolisian. Asumsi itu cukup rasional karena kalau dalam konteks hanya penguntitan untuk pelanggaran protokol kesehatan mungkin tidak sejauh itu. Jika demikian, kepolisian harus transparan jika memang ada faktor lain yang membuat mereka menguntit sedemikian rupa.
"Ya mereka (polisi) harus menyampaikan kepada publik apa yang sebenarnya terjadi. Karena bagaimana pun patut disayangkan meninggalnya enam anak bangsa ini," kata Suparji.