Rabu 02 Dec 2020 09:52 WIB

Sejarah konflik Politik dan Oposisi Dalam Islam

Bagaimana sejarah Islam menyikapi konflik dan opisisi

Ilustrasi marching band Ottoman
Foto:

Perlu dipahami bahwa oposisi tidak selamanya harus dihadapi secara keji karena pencapaian solusi bisa ditempuh melalui dialog antara penguasa dan oposisi, serta perwujudan keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana diteladankan oleh Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (61H/680M-101H/720).

Ketika dipilih Khalifah Sulayman sebagai penggantinya, beliau menolak karena beratnya amanat kepemimpinan. Namun kaum Muslimin yang mengakui keluhuran akhlak beliau tetap membaiatnya pada 99 H (717 M).

Setelah dibaiat menjadi khalifah, beliau menerapkan kebijakan yang dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Beliau kemudian memerintahkan aparat untuk menyita kekayaan Dinasti Umawiyyah yang diperoleh secara tidak sah, memecat para pejabat yang zalim kepada rakyat, dan menetapkan pejabat yang kompeten.

Di antaranya mengangkat Isma‘il bin ‘Ubaydillah sebagai gubernur bagi masyarakat Berber. Menurut Muhammad ‘Isa al-Hariri dalam al-Dawlah al-Rustamiyyah bi al-Maghrib al-Islami, kebijakan populis yang diterapkannya saat itu berhasil meningkatkan Islamisasi dan meredam pergolakan kawasan Maghrib.

Adapun kepada pihak oposisi yang melawan pemerintahan Umawiyyah, maka beliau lebih mengutamakan dialog secara bijaksana.Beliau sangat menghormati dan menghentikan penistaan kepada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya sehingga golongan Syi’ah tersanjung.

Menurut Mahmud Syalabi dalam Hayah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, pada waktu itu segala macam ujaran kebencian di mimbar-mimbar khutbah diganti dengan pembacaan QS al-Nahl (16), ayat 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.”

Di samping itu, menurut Ahmad Sulayman Ma‘ruf di dalam Qira'ah Jadidah fi Mawaqif al-Khawarij wa Fikrihim wa Adabihim, Khalifah ‘Umar mampu mengayomi golongan Khawarij yang populer dengan gerakan oposisi radikalnya terhadap penguasa politik.

Sang khalifah sangat dihormati oleh Khawarij karena keadilan dan kesalehannya.Dalam pandangan beliau, Khawarij memberontak bukan atas motif keduniawian. Khawarij sebenarnya melakukan pemberontakan demi kepentingan ukhrawi, tetapi mereka menempuh jalan yang salah disebabkan kekeliruan pemahaman keagamaan mereka.

Karena adanya dialog dan keteladanan inilah, maka Khawarij menghentikan perlawanan mereka selama kepemimpinan beliau.

Demikianlah kearifan beliau terhadap pihak oposisi. Namun pemerintahannya ditakdirkan hanya sebentar karena sebagian Dinasti Umawiyyah yang tidak menyukai ketegasannya meracuni beliau pada 101H (720M), sebagaimana diterangkan Ahmad Syalabi dalam Mawsu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah.

Meski begitu, kesuksesan dan kesejahteraan rakyat berhasil diwujudkan secara gemilang pada masa kepemimpinannya sebab beliau mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Oleh karena itu, menurut Hasan Ibrahim Hasan dalam Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima‘i, sebagian sejarawan menempatkan beliau sejajar dengan al-Khulafa’ur Rasyidun.

Adapun keberhasilan pemerintah Indonesia dalam penyelesaian konflik politik secara damai diwujudkan di Aceh pada 2005. Penelitian Kurnia Jayanti berjudul Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta Tahun 1976-2005 menyebutkan bahwa gerakan GAM dipicu faktor ekonomi.

Aceh yang memiliki sumber daya alam melimpah hanya menikmati sedikit hasilnya karena pemerintah menerapkan sistem sentralistik. Selama bertahun-tahun ketidakpuasan Aceh itu ditanggapi dengan operasi militer sehingga banyak rakyat Aceh menjadi korban.

Pada 2000 pemerintahan Abdurrahman Wahid mulai membuka dialog perdamaian dengan GAM. Pemerintah meminta Henry Dunant Center for Humanitarian  sebagai penengah. Kesepakatan pembentukan zona aman dan jeda kemanusiaan dicapai.

Pada 2001 pemerintahan Megawati menetapkan Status Otonomi Khusus di Aceh. Meskipun demikian, perdamaian belum sepenuhnya terwujud. Pada 15 Agustus 2005 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terjadi penandatanganan MoU (Nota Kesepahaman) antara pemerintah dan GAM di Helsinki, Finlandia, setelah sebelumnya dilakukan kunjungan resmi Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Helsinki.

MoU memutuskan bahwa Aceh mendapatkan 70%  pendapatan dari kekayaan sumber alamnya. Hingga sekarang pemerintah dan rakyat Aceh terus merawat perdamaian itu serta berupaya memajukan kesejahteraan Aceh.

Penjelasan historis di atas menunjukkan bahwa perseteruan antara penguasa dan oposisi pada dasarnya dapat didamaikan melalui kesediaan berdialog kedua belah pihak. Komunikasi politik tersebut harus dibarengi pula dengan kesungguhan pemimpin untuk menegakkan keadilan, tanpa diskriminasi kepada pihak yang memiliki perspektif berbeda, dan mewujudkan kesejahteraan secara merata.

Bukankah perwujudan keadilan dan kesejahteraan inilah yang diamanatkan oleh nilai-nilai luhur Pancasila? Para pejabat beserta seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, seharusnya mengedepankan kepentingan bangsa dan negara serta bersama-sama mengelola Indonesia yang memiliki kekayaan berlimpah ini dengan sebaik-baiknya sehingga kemakmuran dapat dicapai. 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement