Kamis 26 Nov 2020 22:00 WIB

Kemendikbud: Harus Ada Reformasi Buku Besar-besaran

Dinamika global telah melahirkan tantangan bagi dunia pendidikan,

Kegiatan Gowes Literasi kembali digelar oleh Ikapi DKI Jakarta bersama dengan Ikapi Jawa Barat dan IKA Unpad.
Foto: dok. Ketua Ikapi DKI Jakarta Hikmat Kurnia
Kegiatan Gowes Literasi kembali digelar oleh Ikapi DKI Jakarta bersama dengan Ikapi Jawa Barat dan IKA Unpad.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dunia perbukuan mengalami disrupsi ganda, akibat perkembangan teknologi dan deraan pandemi Covid-19. Tak ada pilihan bagi industri perbukuan, selain melakukan perubahan agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Kepala Badan Litbang dan Perbukuan Kemendikbud, Totok Suprayitno, menilai buku-buku yang beredar saat ini, termasuk yang diterbitkan oleh Kemendikbud, belum cukup merefleksikan dinamika global. ‘’Harus ada reformasi besar-besaran supaya cocok dengan kebutuhan pembelajaran di masa depan,’’ ujar Totok saat mengisi acara Munas Ke-19 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) hari kedua (26/11) di Jakarta.

Menurut Totok, dinamika global telah melahirkan tantangan bagi dunia pendidikan, termasuk berimplikasi terhadap ekosistem perbukuan. Setahun lalu dinamika itu baru bersumber pada disrupsi teknologi. Dunia perbukuan harus bersiap dalam berbagai adaptasi, misalnya dengan pengembangan buku digital, mengombinasikan teks dengan video dan wahana lain yang bisa menjadi perangkat ajar yang jauh lebih menarik.

Pada 2020, pandemi memaksa percepatan adopsi teknologi terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Tuntutan pekerjaan berubah. Ada pekerjaan yang hilang, namun ada pekerjaan dan jenis kemampuan (skill) baru yang muncul. “Terlihat pergeseran tuntutan kompetensi orang yang bekerja,” kata Totok.

Totok berharap, buku-buku yang terbit saat ini merefleksikan perubahan tersebut. “Apakah  buku-buku kita sudah cukup untuk membekali anak-anak untuk pekerjaan yang emerging di masa depan,” ujarnya. Sebagaimana karakter pekerjaan yang bertahan di masa depan, buku juga harus mencerminkan pembelajaran berorientasi pada keterampilan berpikir tinggi (HOTS). Ciri-cirinya antara lain kemampuan menyelesaikan masalah yang kompleks, kemampuan interpersonal, kritis, kreatif, dan kemampuan beradaptasi terhadap ketidakpastian.

Menurut Totok, pendidikan harus menyiapkan anak-anak untuk menyambut masa depan, bukan menyiapkan anak-anak untuk pekerjaan yang akan hilang. Demikian pula buku untuk anak-anak sekolah, mengingat buku bagi banyak guru adalah representasi, penerjemahan, dan operasionalisasi kurikulum.

Kebijakan Kemendikbud, kata Totok, pada intinya adalah membangun sebuah ekosistem yang mendorong pembelajaran dengan paradigma baru, yaitu pembelajaran yang melengkapkan ragam berpikir anak sampai ke tahap HOTS. Sebagaimana juga menjadi acuan Programme for International Student Assesment (PISA), ragam berpikir anak mencakup kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Untuk melihat refleksi di tingkat pemikiran kritis, anak-anak harus bisa menggali logika di balik teks dan bisa menjawab atau mencari solusi dari pertanyaan.

Untuk mendorong kemampuan berpikir kritis, menyelesaikan masalah, berkolaborasi, berkomunikasi, buku tamemberikan bekal pengetahuan konten belaka. Buku harus membawa anak-anak belajar di dunia nyata dan memberikan contoh konteks dunia nyata. Menurut Totok, Indonesia sangat beraneka ragam, sehingga tidak adil kalau buku dibuat seragam untuk seluruh negeri. Untuk anak-anak Papua, misalnya, tidak tepat gambaran buku yang “Jawa-sentris”, misalnya yang bercerita tentang jalan tol atau rel kereta. “Dalam rangka merdeka belajar, keragaman buku didorong, tidak dimonopol,” kata Totok.

Ia mendorong penerbitan buku muatan lokal yang mencerminkan keragaman konteks Indonesia. Kearifan lokal bisa diangkat, namun harus dengan cara kreatif. Isinya tidak hanya mencakup bahasa, melainkan bisa juga pengenalan seni, sejarah lokal, dan situs lokal yang membawa sejarah peradaban.

Totok prihatin rendahnya skor kemampuan literasi anak-anak Indonesia menurut PISA. “Andai saja anak-anak dibiasakan membaca, apa saja, dongeng yang baik secara value, majalah, koran, ini mampu menaikkan skor sampai 50 poin PISA,” katanya. Untuk meningkatkan nilai indek aktivitas literasi, saat ini yang penting anak-anak bisa membaca dulu, baru kemudian akses literasi ditingkatkan, dalam bentuk perpustakaan, sekolah, tenaga, juga buku.

Munas ke-19 Ikapi berlangsung 25-28 November 2020. Pada hari ketiga, Jumat pagi (27/11), akan berlangsung diskusi perbukuan dengan subtema “Menguatkan Industri Perbukuan dengan Program Literasi Nasional” yang menghadirkan Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional Ofy Sofiana MHum dan Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Dr. Ivanovich Agusta. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement