Ahad 22 Nov 2020 08:31 WIB

Menyiasati Hunian di Lahan yang Kian Terbatas

Pengembang membuat sejumlah cara untuk menyiasati sulitnya mendapat lahan.

Seorang petani merawat tanaman padi di sawah berlatar belakang Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) di Kelurahan Wates Kota Magelang, Jawa Tengah. (ilustrasi)
Foto: ANIS EFIZUDIN/ANTARA FOTO
Seorang petani merawat tanaman padi di sawah berlatar belakang Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) di Kelurahan Wates Kota Magelang, Jawa Tengah. (ilustrasi)

Oleh : Hiru Muhammad*

REPUBLIKA.CO.ID, Bicara properti, tentunya tidak terlepas dari masalah lahan. Keterbatasan lahan menjadi persoalan utama yang dihadapi pengembang selain persoalan perizinan dan birokrasi. Di kota besar seperti Jakarta, masalah lahan yang kian menyempit memicu kenaikan harga properti yang sulit dihindari. Hal ini mendorong kian sulitnya masyarakat menengah ke bawah untuk memperoleh rumah yang layak huni.

Hal serupa juga terjadi di kawasan penyangga seperti Bekasi, Depok, Bogor maupun Tangerang. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan Industri dan perumahan menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Apalagi menurut Asosiasi Real Estate Broker Indonesia atau Arebi tren properti rumah tapak atau landed house mendominasi penjualan tahun ini. Hal itu terjadi karena adanya dorongan bekerja dari rumah lebih banyak dilakukan pekerja akibat pandemi Covid-19.

Beberapa pengembang telah menyiasati masalah keterbatasan lahan ini dengan membangun sejumlah model kawasan hunian modern guna memenuhi segala kebutuhan penduduk dengan fasilitas lengkap di satu tempat. Sepert Transit Oriented Development (TOD) yang mencoba memadukan antara kawasan hunian dan bisnis dengan sarana transportasi massal modern. Pola ini akan segera beroperasi tidak lama lagi di Bogor dan Bekasi. Sehingga warga yang tinggal di kawasan tersebut akan memiliki akses dari dan ke Jakarta dalam waktu relatif singkat dengan menggunakan sarana kereta cepat dan waktu singkat.

Pola lain adalah pengembangan kota mandiri. Di selatan Jakarta sejak 1990an telah berdiri kawasan mandiri Bumi Serpong Damai, Lippo Village di Tangerang, Summarecon Serpong di Gading Serpong dan sejumlah kawasan lain. Sebagai kota mandiri, kawasan hunian dan bisnis ini dirancang memiliki fasilitas lengkap sebagai pendukung aktivitas warganya. Seperti pasar, pusat pendidikan, perkantoran dan lainnya.

Warga yang berada di kawasan tersebut tidak perlu bepergian jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena semua telah tersedia tidak jauh dari tempat tinggal. Hal ini akan mengurangi kemacetan dan waktu yang habis terbuang dijalan.   Sebagai kota modern, kota mandiri juga dikelilingi akses jalan tol maupun angkutan massal modern untuk mempercepat mobilitas warga dari dan ke pusat kota di Jakarta.

Pola lain yang dikembangkan adalam kawasan super blok. Meski memiliki lahan tidak seluas kota mandiri, namun pengembangan kawasan super blok juga dapat menjadi alternatif mensiasati keterbatasan lahan di kota besar. Bahkan pihak pengembang juga memberikan fasilitas sebagai smart city guna meyakinkan para calon konsumen maupun konsumen bahwa mereka mendapatkan layanan komunikasi berbasis internet yang andal untuk menunjang aktivitas mereka.

Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (MBR) tidak perlu khawatir. Mereka yang tinggal di Jakarta atau perbatasan Jakarta masih dapat menempati hunian layak dalam bentuk rumah susun. hal itu sesuai dengan Undang Undang No 16 Tahun 1985 tentang rumah susun. Pembangunan rumah susun biasanya terbagi dalam dua bagian, rumah susun sewa (rusunawa) dan rumah susun milik (rusunami).

Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia kementerian (PPDPP PUPR), melalui Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Khalawi Abdul Hamid menyebutkan, pemerintah telah meluncurkan sejumlah program  perumahan berbasis komunitas, Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dengan melibatkan pengembang besar, skema penyediaan perumahan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) /TNI/Polri dan generasi milenial.

Pencapaian Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan pemerintah hingga akhir 2019 mencapai 1.257.852 unit. Sementara total capaian pembangunan rumah selama lima tahun mulai 2015 hingga 2019 berjumlah 4.800.170 unit rumah. Dari angka capaian 2019 tersebut tercatat pembangunan rumah untuk MBR jumlahnya sekitar 945.161 unit dan rumah untuk non MBR sekitar 312.691 unit rumah.

Program sejuta rumah yang dilanjutkan pemerintah hingga 2024 tersebut harus mampu menyelesaikan masalah perumahan. PUPR mengklaim realisasi program sejuta rumah mencapai 1,25 juta unit. Namun, hingga Juli 2019 realisasinya baru mencapai 601.205 unit atau 48,09 persen.

Pemerintah telah mendeteksi sejumlah kendala yang membuat program sejuta rumah masih tersendat.  Salah satunya yang utama adalah keterbatasan lahan  yang diatasinya dengan membidik sejumlah lahan miliki lembaga pemerintah yang tidak terpakai. Persoalan lain adalah harga bahan bangunan yang terus merangkak naik yang diupayakan mencari teknologi baru yang lebih efisien. Masalah regulasi terutama perijinan yang belum sesuai antara pusat dan daerah serta keterbatasan dana pembangunan dari pemerintah sendiri juga menjadi pekerjaan rumah yang menanti.

Semoga dengan berbagai upaya yang dilakukan pengembang swasta dan pemerintah tersebut mampu memenuhi kebutuhan rumah yang layak huni bagi masyarakat luas, sehingga memperkecil angka backlog perumahan.

 

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement