REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kerusakan hutan tidak hanya menimbulkan bencana alam, tapi juga perdagangan satwa. Bahkan, fenomena tersebut dapat memunculkan penyebaran penyakit yang dibawa oleh hewan.
Peneliti dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Prof Jatna Supriyatna mengatakan, perdagangan satwa dilatarbelakangi keinginan masyarakat mengonsumsi hewan sebagai makanan dan obat. Ditambah lagi, dengan keuntungan berjuta dollar AS dari perdagangan tersebut.
"Maka, begitu diambil dari hutan karena ada kerusakan hutan, dia (manusia) pakai jala sehingga satwa masuk ke perangkap. Hutan bagus nggak gitu, kalau bagus dia (hewan) bisa keluar dari jala," ungkap Jatna.
Berbagai jenis satwa liar biasanya diambil dari hutan untuk disimpan di pasar burung. Hewan-hewan tersebut dicampur di satu tempat, baik dengan burung, mamalia, reptil dan lain-lain. Kondisi ini dapat memudahkan mikroba pindah dari satu hewan ke lainnya.
Menurut Jatna, fenomena penumpukan satwa di satu lokasi dapat menyebabkan penyebaran virus antarhewan. Seperti halnya SARS Cov yang dibawa kelelawar lalu menyebar ke mamalia dan manusia. "Ini akan terjadi terus, sama seperti ebola, lalu HIV dari primata karena di Afrika banyak yang makan (primata)," kata ahli Zoologi dan biologi konservasi Indonesia ini.
Situasi yang terjadi di negara luar sudah seharusnya menjadi peringatan di Indonesia. Perdagangan satwa liar perlu dihentikan untuk menutup penyebaran virus dan penyakit. China misalnya, sempat menutup pasar burung untuk menghentikan pandemi Covid-19 tapi Indonesia tak memberlakukannya.
Dosen FMIPA Universitas Indonesia (UI) ini berharap, masyarakat tidak memelihara satwa liar di rumah, tapi cukup menyukai saja. Pasalnya, keberadaan hewan sering memicu penyebaran virus dan bakteri kepada manusia.
"Jadi pesan saya, ini sekarang riset sudah dikerjakan di Sumatera, Medan Jakarta, Pasar Pramuka, Manado, di beberapa tempat. Memang ada hewan yang konsumsi sendiri atau dikirim ke Hongkong atau China. Karena mereka sekarang tutup (karena pandemi), tetapi ini (tetap) dikonsumsi dalam negeri. Ini berbahaya pada yang akan datang," kata dia menambahkan.