REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum mendakwa Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra memberikan suap kepada dua Petinggi Polri untuk memuluskan penghapusan red notice atau status daftar pencarian orang (DPO) terhadap dirinya. Djoko Tjandra didakwa bersama-sama dengan Tommy Sumardi memberikan suap terhadap Kadiv Hubungan Internasinal Polri Irjen Napoleon Bonaprte dan Kepala Biro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
"Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut, berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yaitu supaya Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo menghapus nama terdakwa dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi," kata jaksa Wartono saat membacakan surat dakwaan, Senin (2/11).
Awalnya, pada April 2020, Joko Soegiarto Tjandra atau Djoko Tjandra yang berada di Kuala Lumpur Malaysia menghubungi Tommy Sumardi melalui sambungan telepon menyampaikan maksud agar dapat masuk ke wilayah Indonesia untuk mengurus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas kasus korupsi Bank Bali. Djoko Tjandra meminta agar Tommy Sumardi menanyakan status Interpol Red Notice Joko Soegiarto Tjandra di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri, karena sebelumnya Djoko Tjandra mendapat informasi bahwa Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Prancis.
"Agar Joko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Joko Soegiarto Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp 10 miliar rupiah melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Joko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," ujar Jaksa.
Saat itu, Napoleon menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri. Napoloen disebut melakukan penghapusan nama tersebut bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo yang merupakan Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri.
Setelah menerima uang dari Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte, memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ditujukan kepada pihak Imigrasi sebagaimana Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1000/V/2020/NCB-Div HI tanggal 29 April 2020, perihal Penyampaian Informasi Pembaharuan Data, yang ditandatangani oleh Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.
"Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database Daftar Pencarian Orang (DPO) yang terdaftar dalam INTERPOL Red Notice melalui jaringan 1-24/7, dan berkaitan dengan hal dimaksud dinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi," kata jaksa.
Irjen Napoleon Bonaparte pun kembali memerintahkan anggotanya Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1030/V/2020/NCB-Div Hl tanggal 4 Mei 2020, perihal Pembaaruan Data Interpol Notices yang ditandatangani oleh atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham RI.
"Adapun isi surat tersebut pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice," ujar jaksa.
Dengan adanya permintaan penghapusan dari Divhubinter Polri, mpada tanggal 13 Mei 2020, Ferry Tri Ardhiansyah (Kepala Seksi Pencegahan Subdit Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Ditjen Imigrasi) setelah mendapatkan disposisi dari Sandi Andaryadi (Kepala Sub Direktorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Ditjen Imigrasi), melakukan penghapusan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi.
"Dan digunakan oleh Terdakwa untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan Peninjauan Kembali pada bulan Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Jaksa.
Atas perbuatannya, Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.