Senin 02 Nov 2020 08:48 WIB

Impor Hortikultura dalam Perspektif UU Cipta Kerja

Impor hortikultura pada UU Ciptaker juga masih ada keharusan standar mutu.

Hortikultura
Foto:

Dalam perkembangan terakhir, UU Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR sekaligus mengakomodir tuntutan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pemahaman yang harus mendapatkan perhatian publik, dalam memaknai perubahan pasal-pasal terkait.

Sebelum ada perubahan pasal pada UU Cipta Kerja, pada tiga prolegnas (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan dan UU Hortikultura) dinyatakan impor pangan, termasuk hortikultura, dilakukan hanya jika produksi dalam negeri tidak mencukupi. Ini direvisi menjadi: pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan memanfaatkan sumber produksi dalam negeri, cadangan pangan dan impor. Ada klausul pada ayat berikutnya bahwa impor tersebut harus memperhatikan kepentingan petani dan nelayan.

Dinyatakan instrumen baik tarif maupun non tarif dapat digunakan. Ini adalah jalan tengah dalam menjaga kepentingan nasional kemandirian pangan, di tengah urgensi mempertahankan sediaan dan harga karena kebutuhan dari rumah tangga dan konsumen industri. Untuk impor hortikultura, pada UU Cipta Kerja juga masih ada keharusan standar mutu dan pembatasan pelabuhan impor.

Perdagangan internasional harus berjalan dengan landasan saling menguntungkan. Contoh sederhana dengan salah satu mitra dagang utama, sampai saat ini impor non migas tertinggi dari AS ketiganya adalah produk pertanian mencakup gandum, kedelai dan kapas. Namun nilai impor ketiganya yang sangat tinggi tertutupi bahkan surplus, oleh hanya dua komoditi pertanian dan perikanan yaitu karet, olahan karet dan udang.

Untuk hortikultura yang memang baru mendapatkan perhatian secara sangat serius dari Pemerintah sejak akhir 1990-an, defisit memang masih terjadi. Namun bukan berarti tidak ada keberpihakan dalam mengatur impor.

Sebagai contoh kita masih sangat membatasi impor cabe segar, dan industri memang lebih tertarik mengambil cabe kering dari pasar cabe terbesar di India, yang diproduksi dengan biaya pokok sangat rendah. Dalam implementasi UU Cipta Kerja, Kementerian terkait sudah mempersiapkan risk based analysis (RBA) untuk impor hortikultura.

Hasilnya adalah pengkategorian impor hortikultura sebagai usaha yang dapat berjalan murni komersial atau memerlukan izin dalam pelaksanaannya. Mempertimbangkan faktor risiko sepetti lingkungan (kesehatan hewan dan tumbuhan) serta dampak sosial (kepentingan petani); bisa jadi impor hortikultura masuk kategori kedua dengan risiko tinggi.

Beberapa negara pertanian lain menerapkan instrumen seperti tarif (rerata tarif terapan impor sayuran Thailand jauh di atas Indonesia). Thailand juga lebih dapat menerapkan hambatan seperti TBT karena sudah menerapkan good agricultural practices (GAP) pada orchard-orchard buah yang diregistrasi secara baik. Australia sejak awal 2000-an sudah menerapkan berbagai hambatan non tarif untuk impor durian, lengkeng dan manggis, meskipun daerah utara yang ingin dikembangkan buah tropis belum berhasil secara baik dilakukan. Inilah lesson learned yang dapat dipelajari oleh kita dalam kebijakan impor hortikultura.

Hambatan perdagangan seperti kuota adalah hal yang dapat dikatakan taboo pada perdagangan internasional. Untuk impor buah, tidak ada alasan yang signifikan untuk menerapkan kuota; terlebih pada buah sub tropis yang memang tidak secara massif diproduksi di dalam negeri.

Hambatan kuota masih diterapkan, hanya dengan maksud untuk melindungi kepentingan nasional (komoditi strategis untuk kemandirian pangan). Harga buah di dalam negeri secara umum dapat dikatakan stabil hampir sepanjang tahun.

Bila terjadi pergerakan yang cukup volatile hanya pada saat tertentu dimana pasokan buah dari dalam negeri sedang tidak musim. Buah berbeda dengan bawang merah, bawang putih atau cabe. Saat harga apel mahal, konsumen segera dapat beralih misalnya ke jeruk atau buah lain. Jambu kristal tanpa biji yang sudah berkembang, pada awalnya diproduksi dengan adopsi bibit dari Taiwan, bukan untuk mensubstitusi jambu impor, tapi dimaksudkan sebagai pesaing apel impor yang keseluruhan buahnya bersifat edible.

Jadi menganalisis kebijakan impor buah tentu tidak dapat sama dengan impor jagung, gula atau sapi yang sering ditenggarai membuka jalan bagi pencari rente. Kebijakan impor pada kurun waktu terakhir sudah terus dibenahi, agar transparansi proses dan perizinan lebih berjalan.

UU Cipta Kerja sekiranya dapat memberikan jawaban atas PR ini. Tentu, lebih mendasar jawaban terhadap isu impor hortikultura atau pertanian adalah meningkatkan daya saing. Pakistan waktu akan meningkatkan eskpor buah mulai dengan penentuan prioritas dan pemetaan penerapan GAP melalui pertanian yang lebih presisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement