REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar, Fauziah Mursid
Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron menuai kritik keras dari dalam negeri. Sikap Macron dinilai tidak menghargai Islam.
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengkritik keras sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron yang membela penerbitan kartun Nabi Muhammad SAW dengan dalih kebebasan berekspresi. ‘’Kebebasan berekspresi yang terkandung dalam ajaran demokrasi bukan berarti setiap orang bebas melakukan apa saja hingga melanggar hak orang lain. Apalagi jika hak itu menyangkut hak keberagamaan orang lain," ujar Basarah dalam keterangan tertulis, Selasa (27/10).
Menurut dia, sebagai negara yang tergolong lebih maju dari negara-negara lain, Prancis seharusnya menunjukkan sikap toleransi antarumat beragama kepada dunia. Pernyataan Basarah merupakan respons atas hiruk-pikuk pemberitaan media internasional yang dalam sepekan ini diramaikan oleh pernyataan kontroversial Presiden Prancis Emmanuel Macron awal pekan lalu.
Dalam pernyataan resminya, Presiden Prancis itu menyatakan tidak akan mencegah penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW dengan dalih demokrasi dan kebebasan berekspresi. Atas hal itu, kritikan keras pun datang tidak hanya dari umat Islam di negara-negara Timur Tengah, tapi juga datang dari umat Kristen di dunia Arab.
Menurut Basarah, seharusnya Presiden Prancis bersikap bijak saat menyatakan pendapat yang dapat menyinggung perasaan umat beragama di negerinya sendiri maupun di tingkat internasional. Terlebih, jumlah umat Islam di seluruh dunia saat ini mencapai 1,9 miliar jiwa.
‘’Semua negara seharusnya terpanggil untuk menjaga perdamaian dan kedamaian dunia demi kedamaian dan kebahagiaan seluruh umat manusia yang jelas berbeda-beda bangsa dan agamanya,’’ ujar Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Luar Negeri itu.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini mengingatkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang tergabung dalam keanggotaan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang menginisiasi sekaligus menyetujui Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 tentang Memerangi Intoleransi dan Diskriminasi.
Resolusi yang diajukan negara-negara OKI itu diadopsi oleh Dewan HAM PBB pada 12 April 2011 dan salah satu klausulnya menegaskan kewajiban semua negara untuk melarang diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan dan untuk mengimplementasikan langkah-langkah untuk menjamin perlindungan hukum yang setara dan efektif.
Atas dasar itu, Basarah memandang lumrah seandainya Indonesia juga memberikan pernyataan keras atas pernyataan Presiden Prancis itu.
‘’Saya ingin tegaskan bahwa resolusi itu antara lain juga menyatakan keprihatinan atas meningkatnya intoleransi, diskriminasi dan kekerasan, pelabelan negatif, terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan yang terus meningkat di seluruh dunia,’’ kata dia pula.
Sekretaris Dewan Penasihat Baitul Muslimin Indonesia ini menambahkan, apa yang terjadi di dunia internasional, khususnya di Prancis dalam sepekan ini, semakin menunjukkan betapa hebat demokrasi Pancasila yang dianut rakyat Indonesia. Di negeri ini, kata dia, kendati demokrasi diterima sebagai cara berbangsa dan bernegara, tetapi tidak dengan sendirinya demokrasi yang dianut itu membolehkan setiap warga menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebebas-bebasnya hingga menyakiti perasaan saudara sebangsa berbeda agama.
‘’Demokrasi yang kita anut adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal. Dengan demokrasi Pancasila, terbukti kita sebagai bangsa bisa hidup rukun. Saya yakin suatu saat demokrasi Pancasila akan menjadi rujukan nagara-negara internasional,’’ ujar dia lagi.
Basarah pun mengajak umat Islam di Indonesia untuk merespons pernyataan Presiden Prancis itu secara proporsional. Dia tidak menyarankan umat Islam di Tanah Air yang terkenal penuh kedamaian dan kesejukan terpancing melakukan anarkisme akibat pemberitaan soal penodaan agama dari negara berjuluk kota mode itu.
Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Iqbal menanggapi pula pernyataan Macron soal Islam. Ia meminta Pemerintah RI menunda sejumlah kerja sama dengan Perancis, termasuk pembelian Jet Tempur Rafale.
"Kami mengusulkan pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan kembali berbagai bentuk kerjasama dengan Prancis, termasuk rencana pembelian jet tempur Rafale," ujar Iqbal melalui pesan singkat yang diterima Republika.co.id.
Penundaan ini, kata Iqbal bisa dilakukan sampai Emannuel Macron menyampaikan permintaan maaf kepada umat Islam terkait pernyataannya dan menghentikan penghinaan simbol Islam seperti pembuatan karikatur Nabi Muhammad. Macron seharusnya memberikan pernyataan yang menyejukkan untuk menciptakan perdamaian antarnegara, bukan malah membuat perpecahan bahkan konflik,” ujar Iqbal.
PPP sendiri tidak setuju atas tindakan main hakim sendiri yang ditujukan kepada guru yang menampilkan karikatur Nabi Muhammad SAW. Tetapi, seharusnya pemerintah Prancis juga menghukum penghina Nabi Muhammad SAW.
“Sehingga ke depannya tidak ada lagi penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan simbol-simbol Islam atau agama lainnya. Agar toleransi beragama dapat tercipta dengan baik,” ujar Iqbal.
Menhan RI Prabowo Subianto pada 22 Oktober 2020 lalu bertemu dengan Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly. Mereka melanjutkan pembahasan kerja sama pertahanan yang sudah disepakati kedua negara pada 2017, meliputi tiga bidang, yakni operasional, pelatihan, dan kemampuan.
Prabowo dan Florence Parly sebelumnya sudah melakukan pertemuan pada Januari 2020. Dalam pertemuan tersebut, Prabowo telah melakukan pembicaraan lanjutan dengan Florence Parly untuk pembelian pesawat jet tempur Rafale, kapal selam Scorpene dan korvet Gowind.
Indonesia disebut ingin membeli 48 jet Rafale, hingga 4 kapal selam Scorpene yang dipersenjatai dengan rudal Exocet SM39 dan dua korvet Gowind seberat 2.500 ton. Pembelian alutsista tersebut diperkirakan bernilai 25-28 miliar dolar AS.
Iqbal juga meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI melayangkan nota protes pada Prancis. "Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam dan menjaga toleransi beragama serta perdamaian dunia, kami meminta Kemenlu RI untuk mengajukan protes keras terhadap pernyataan Presiden Prancis Emannuel Macron," ujar Iqbal.
Ia mengingatkan, Indonesia juga merupakan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang mestinya juga mengimbau negara-negara agar menjaga perdamaian dunia.
Ia pun mengecam pernyataan Macron yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui, Macron kembali mengeluarkan pernyataan yang berbau islamfobia terkait seorang Guru dipenggal karena menunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelasnya. Dia mengatakan, sang guru dibunuh karena kaum Islamis menginginkan masa depan kita.
Meski Iqbal menyatakan tidak setuju dengan cara main hakim sendiri kepada guru tersebut, ia menilai mestinya Prancis sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, tambah Iqbal, seharusnya memberikan pernyataan yang menyejukkan untuk menciptakan perdamaian antar-negara, bukan malah membuat perpecahan dan bahkan konflik antar-negara seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
"Pernyataan Macron sangat berbahaya karena turut menyebarkan kebencian di antara masyarakat dunia," ujar Sekretaris Fraksi PPP itu menambahkan.
Juru Bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi mengingatkan kembali pesan Wakil Presiden Ma'ruf Amin untuk mengenalkan Islam Rahmatan Lil alamin kepada semua orang. Masduki menyebut, Kiai Ma'ruf menilai tantangan umat Islam saat ini adalah mengenalkan Islam Rahmatan Lil Alamin atau Wasathiyah kepada orang yang keliru menilai Islam.
Salah satunya, kata Masduki untuk menjawab persepsi negatif masyarakat barat terhadap Islam. Karena itu, Masduki menilai, pandangan ini juga relevan untuk menanggapi sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang Islam di Prancis.
"Saya kira itu tantangan yang selalu Kiai Ma'ruf sampaikan kepada umat Islam, sehingga kalau ada yang baru seperti ini, mereproduksi pernyataan beliau masih relevan," ujar Masduki saat dihubungi, Selasa (27/10).
Masduki pun mengulas kembali pernyataan Wapres mengenai pandangan masyarakat barat tentang Islam yang kerap dikaitkan dengan kekerasan atau teror. Hal ini menurut Masduki lantaran gerakan Islamophobia yang terus bergerak, termasuk di Eropa.
Karena itu, tantangan umat saat ini adalah bagaimana mengenalkan dan meluruskan Islam dengan wajah yang moderat.
"Islam yang rahmatan lil alamin itu dijadikan satu senjata baru, supaya dipahami benar oleh masyarakat barat tentang Islam karena sejatinya Islam adalah rahmatan lil alamin, itu yang belum dipahami baik," katanya.
Karenanya, umat Islam di Indonesia juga mempunyai tanggung jawab untuk mengenalkan Islam Rahmatan Lil alamin dan Wasathiyah kepada negara lain. Dengan begitu, ia berharap penerapan Islam Wasathiyah di Indonesia bisa direplikasi ke negara lain termasuk di Perancis.
"Ini sebenarnya perlu, direplikasi ke berbagai negara negara lain, sehingga ini bisa menjadi bentuk yang mainstream dari pemahaman Islam di seluruh dunia ke depan, dan itu diperkenalkan kepada masyarakat eropa," ungkapnya.
Ia juga berharap masing-masing pihak menahan diri dan tidak mudah untuk menggeneralisasi semua orang, seperti kasus Macron dan penerbitan karikatur oleh Charlie Hebdo.
"Karena akan ada yang selalu saja orang orang mempunyai paham yang seperti itu tapi jangan dijadikan generalisasi. Kesalahan Macron adalah menggeneralisasi seakan-akan Islam itu orang-orang yang keras yang ada di Perancis," kata Masduki.
"Namun kita memahami kenapa orang Islam di Perancis sangat keras, walaupun sebagian tidak. Karena memang perlakuan rasisme terhadap minoritas di Perancis khususnya muslim sangat keras juga," ujar Masduki.