REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik Adib Miftahul menilai bahwa Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dapat membenahi peraturan daerah (perda) yang bermasalah. Dia mengatakan, ada beberapa perda yang tidak sinkron dengan peraturan di atasnya.
"Kondisi ini menyebabkan pengurusan izin memakan waktu lama dan banyak menguras biaya," kata Adib dalam keterangan, Senin (26/10).
Dia mengatakan, kondisi itu membuat perizinan menjadi berbelit-belit. Dia melanjutkan, hal tersebut kemudian membuat investor enggan menempatkan modal mereka ke dalam negeri.
Dia menyebut, izin yang berada di bawah pemerintah daerah ini terkadang tidak jalan karena banyak oknum-oknum yang bermain. Dia mengatakan, produk hukum tersebut diyakini mampu mengurai berbagai tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Akademisi Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) ini mengatakan, keberadaan UU Ciptaker menjadi sebuah evaluasi atas tumpang tindih regulasi. Dengan begitu, sambung dia, ekonomi Indonesia bisa segera tumbuh.
"Proses perizinan harus cepat. Tidak boleh ada tumpang tindih regulasi kalau kita mengharapkan ekonomi tumbuh,” kata Adib.
Kendati, dia memberi catatan agar pemerintah daerah tetap dilibatkan dalam mengawal regulasi sapu jagat tersebut. Dia mengatakan, pemerintah daerah bisa melakukan supervisi untuk memastikan yang diberikan izin itu layak atau tidak.
Seperti diketahui, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ciptaker menjadi undang-undang. Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna Masa Sidang IV tahun sidang 2020-2021 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10) sore.
Presiden Joko Widodo mempersilakan jika ada pihak yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja untuk menempuh jalur konstitusi. Bekas gubernur DKI Jakarta ini memberi peluang agar penentang UU Ciptaker mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).