Senin 26 Oct 2020 21:55 WIB

Aparat yang Dinilai Semakin Semena-mena dan Tanggapan Polri

Aparat dinilai semakin semena-mena ke warga berbeda pilihan politik dengan penguasa.

Bareskrim Polri mengungkap sembilan orang yang terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka diduga terkait kerusuhan unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Survei Indikator Politik menunjukkan hasil meyoritas responden menilai aparat semakin semena-mena dengan warga dengan pilihan politik berbeda dengan penguasa. (ilustrasi)
Foto: Mabes Polri
Bareskrim Polri mengungkap sembilan orang yang terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka diduga terkait kerusuhan unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Survei Indikator Politik menunjukkan hasil meyoritas responden menilai aparat semakin semena-mena dengan warga dengan pilihan politik berbeda dengan penguasa. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Ali Mansur

Indikator Politik Indonesia dalam survei terbarunya menemukan, mayoritas publik setuju, aparat makin bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat. Sebanyak 37,9 persen responden menyatakan agak setuju bahwa aparat makin semena-mena. Ada 19,8 persen menilai sangat setuju aparat makin semena-mena terhadap warga yang berbeda pilihan politiknya dengan penguasa.

Baca Juga

"Kalau saya gabung sangat setuju dengan agak setuju itu mayoritas, jadi variabel kebebasan sipil itu sepertinya belnya sudah bunyi nih hati-hati," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi daring, Ahad (25/10).

Untuk diketahui survei Indikator dilakukan pada 24-30 September 2020 dengan menggunakan 1.200 responden melalui metode simple random sampling. Sementara, margin of error sebesar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Akibat aparat yang semakin bertindak semena-mena itu, masih menurut survei Indikator Politik menemukan bahwa, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan, bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.

"Lagi-lagi kita ingatkan ada situasi yang di bawah alam sadar masyarakat mulai takut ngomong, padahal dalam konteks demokratis partisipatoris deliberatif, warga itu justru harus di-encourage untuk berbicara, apa pun isinya," kata Burhanuddin.

Berdasarkan demografi, responden laki-laki cenderung sangat setuju bahwa warga takut menyatakan pendapat. Selain itu, masyarakat di perkotaan juga cenderung setuju dengan hal tersebut.

Selain itu, Indikator dalam surveinya juga menanyakan soal setuju tidaknya warga makin sulit berdemonstrasi. Hasilnya, sebanyak 20,8 persen menyatakan sangat setuju bahwa warga makin sulit berdemonstrasi, dan 53 persen responden menyatakan agak setuju warga makin sulit berdemonstrasi.

Sementara hanya 19,6 persen responden yang menyatakan kurang setuju bahwa warga makin sulit turun ke jalan. Kemudian hanya 1,5 persen responden tidak setuju sama sekali dengan pernyataan bahwa warga makin sulit berdemonstrasi.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono hari ini merespons hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan mayoritas publik menilai polisi semakin semena-mena menangkap warga yang berbeda pilihan politik dengan penguasa. Justru menurutnya, pihak Kepolisian selalu bertindak sesuai dengan prosedur

"Terkait  penangkapan atau penindakan itu semua berdsasarkan adanya laporan polisi, itu bisa model A atau model B, kita memakai dasar dan tentunya berproses berdasarkan konstruksi hukum yang ada," ujar Awi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (26/10).

Menurut Awi, seseorang bisa terkena pelanggaran pidana, berdasarkan peristiwa dan unsur-unsur yang dilanggar. Kemudian dari sanalah konstruksi hukum yang akan digunakan aparat penegak hukum, tapi tetap harus berdasarkan undang-undang.

Namun, kata Awi, jika masyarakat merasa tidak puas atas tindakan kepolisian, maka ada ruang praperadilan. Hal itu sudah diatur dalam Pasal 77 KUHAP.

"Kalau masyarakat tidak setuju atau mengetes sah tidaknya penangakpan, penghentian penyedikan, bisa di praperadilan, sebagai kontrol, polisi sudah betul atau tidak, silahkan diuji, nanti akan diadili hakim tunggal," ungkap Awi.

Tanggapan politikus

Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari tidak sependapat dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia. Menurutnya, demokrasi di Indonesia masih jauh lebih baik daripada negara-negara di ASEAN lainnya.

"Apa yang disebut dengan resesi demokrasi itu memang benar terjadi. Tapi ternyata Indonesia is not as bad as others gitu ya," kata Eva, Ahad (25/10)

Eva pun membandingkan Indonesia dengan Kamboja dan Myanmar. Menurutnya, negara tersebut punya persoalan mengenai isu demokrasi yang lebih kompleks ketimbang Indonesia.

Selain itu, Eva juga menanggapi hasil survei terkait adanya anggapan bahwa warga semakin sulit melakukan demonstrasi. Menurutnya Indonesia cenderung lebih terbuka ketimbang negara lain seperti Rumania yang melarang unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19.

"Boleh demo itu dibolehkan tapi di negara lain di Rumania enggak boleh karena mereka takut adanya kenaikan yang terpapar, tapi di Indonesia kan enggak. Dibolehkan tapi agak dikontrol, tapi dibolehkan lho tidak dilarang sama sekali seperti di Thailand kan ada larangan apalagi di Myanmar udah enggak bisa lah kamu demo," ujarnya.

Sementara, politikus Partai Demokrat Hinca Pandjaitan juga menyayangkan penggunaan UU ITE yang berlebihan di rezim Jokowi. Padahal, menurutnya UU ITE dibuat ketika itu untuk menyikapi adanya transaksi elektronik yang dilakukan terorisme.

"Belakangan pembahasan UU itu, jadi draf awalnya itu UU transaksi elektronik, belakangan di DPR diubah atau ditambah informasi di belakangnya, informasi transaksi elektronik dan kemudian seolah dibaca menjadi transaksi elektronik tentang informasi. Padahal informasi itu oksigennya demokrasi," ungkapnya

Hinca juga menyoroti soal kebebasan sipil yang kian tergerus saat ini. Hal tersebut menurutnya berbeda dengan yang terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Sekalipun (di masa pemerintahan SBY) begitu banyak demonstrasi, sekalipun begitu banyak tekanan demonstrasi, tapi tidak ada satu pun yang kemudian berujung kriminalisasi untuk menyampaikan pendapat itu," ucap mantan Sekjen Partai Demokrat tersebut.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengaku sedih melihat data turunnya tren demokrasi di Indonesia. Kendati demikian ia bersyukur masih ada 62,4 persen responden yang masih yakin dengan demokrasi.

"Tapi ketika di-zooming lagi apakah lebih demokratis kurang demokratis, apakah berani menyampaikan pendapat, catatannya panjang dan membuat kita harus sedih ya," ucapnya.

"Karena modal dasar kita untuk membangun adalah publik engagement, ketika publik engagement quote and unquote bermasalah, maka mahal sekali upaya untuk melibatkan publik dalam keseluruhan proses pengambilan politik kita," imbuhnya.

photo
Pelanggaran UU ITE - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement