REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar mencopot Sanitiar Burhanuddin dari jabatannya sebagai Jaksa Agung. Desakan itu dilayangkan sebagai respons ICW terkait kinerja Kejaksaan Agung (Kejakgung), yang dianggap tak profesional dalam pengungkapan skandal hukum terpidana Djoko Tjandra.
"Hal yang melatarbelakangi permintaan pemberhentian itu (Jaksa Agung Burhanuddin) adalah performa Kejaksaan Agung yang kerap menimbulkan persoalan. Terutama terkait perkara buronan, dan terpidana Djoko S Tjandra," begitu isi surat kepada Presiden Jokowi, dalam rilis ICW yang diterima wartawan di Jakarta, Jumat (23/10).
Peneliti Hukum ICW Kurnia Ramadhana menerangkan, ada tiga catatan dalam pengungkapan kasus Djoko Tjandra yang menjadi dasar permintaan pemberhentian Burhanuddin. Pertama, kata Kurnia, Kejakgung melakukan pengabaian fungsi pengawasan dari Komisi Kejaksaan (Komjak).
Kurnia mengatakan, sejak pengungkapan awal kasus Djoko Tjandra, Komjak berkali-kali menyurati Kejakgung agar dapat memeriksa jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dituding menerima suap, dan gratifikasi dari Djoko Tjandra senilai 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar). Pemberian suap, dan gratifikasi tersebut, terkait dengan upaya jaksa Pinangki, membuat skema penerbita fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra, sempat buron 11 tahun, terkait korupsi Rp 904 miliar dalam kasus hak tagih utang Bank Bali 1999. Kurnia menerangkan, Komjak berkali-kali menyurati Jaksa Agung, agar dapat memeriksa jaksa Pinangki, karena diduga adanya bukti pelanggaran etik, yang dilakukan Pinangki saat bersepakat dengan terpidana, dan buronan Djoko Tjandra.
"Kejaksaan Agung mengabaikan fungsi pengawasan Komjak untuk dapat memeriksa jaksa Pinangki," begitu kata Kurnia.
Alasan kedua, kata Kurnia, keterlibatan jaksa Pinangki itu, sempat membuat Kejakgung berupaya melindunginya. Kata Kurnia, ICW mencatat dua kali adanya upaya Jaksa Agung Burhanuddin melindungi Pinangki dengan penerbitan Pedoman Jaksa Agung 7/2020 tentang izin pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Meskipun Pedoman Jaksa Agung tersebut, dicabut atas desakan berbagai elemen masyarakat, tetapi edaran itu menunjukkan adanya upaya perlindungan terhadap jaksa yang terlibat masalah hukum. Kurnia menambahkan, ditambah lagi, adanya wacana dari Kejakgung, yang akan memberikan bantuan hukum terhadap Pinangki atas perannya dalam skandal Djoko Tjandra tersebut.
Alasan ketiga, kata Kurnia, Presiden Jokowi layak memberhentikan Jaksa Agung Burhanuddin karena mengabaikan kordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam setiap tahapan penyidikan perkara Djoko Tjandra tersebut. Pun, dikatakan Kurnia, ICW mengambil rekomendasi dari Ombudsman RI yang menilai, Kejakgung melakukan praktik penyimpangan adiministrasi, dan prosedur penanganan, serta penyalahgunaan wewenang dalam pengungkapan, penyelidikan, serta penyidikan skandal hukum Djoko Tjandra.
"Berdasarkan alasan-alasan tersebut, ICW memandang bahwa ST Burhanuddin telah gagal mengemban tugas sebagai Jaksa Agung. Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinannya justeru tidak mampu menunjukkan profesionalitas dalam menangani perkara-perkara, seperti praktik korupsi, suap, dan gratifikasi yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari, dan Djoko Tjandra," kata Kurnia menambahkan.