REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendorong peningkatan pemahaman publik mengenai risiko bencana. Selain itu, peningkatan kinerja manajemen risiko bencana dalam mendukung pengurangan risiko bencana di Tanah Air.
"Belum maksimalnya pengurangan risiko bencana salah satu akibat dari minimnya pengetahuan risiko," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (22/10).
Menurut Nuke, minimnya pengetahuan risiko berpengaruh pada penyelesaian dari akar masalah penyebab risiko bencana. Penggabungan antardisiplin ilmu dapat menjadi upaya agar pengurangan risiko bencana dapat dioptimalkan dengan menggunakan pendekatan multidisiplin.
Ia menjelaskan, pendekatan multidisiplin digunakan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Ocky Karna Radjasa mengatakan pendekatan ilmu pengetahuan dapat berkontribusi pada penguatan upaya pengurangan risiko bencana. Selanjutnya juga mendukung target pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan pembuat kebijakan dan publik perlu menumbuhkan kesadaran, dorongan, dan motivasi untuk mengakses dan menggunakan hasil riset yang bermanfaat untuk mengurangi risiko bencana. Eko menuturkan perlu adanya penguatan komunikasi sains yang menjembatani kebutuhan pembuat kebijakan dan publik dengan riset yang harus dilakukan para peneliti dan akademisi sehingga hasil riset benar-benar bisa menjawab kebutuhan bangsa dalam penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana.
"Jembatan ini akan membuat para peneliti sadar bahwa salah satu kepentingan riset adalah menyelesaikan persoalan persoalan riil yang dihadapi oleh pembuat kebijakan dan masyarakat," ujar Eko.
Jembatan yang berupa komunikasi sains itu juga akan membuat pembuat kebijakan dan publik menyadari bahwa riset yang dilakukan oleh peneliti akademisi berorientasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan mereka seperti riset-riset terkait kebencanaan. "Selama ini kebutuhan dan prioritas pembuat kebijakan tidak terkomunikasikan dengan baik, sementara peneliti-akademisi jarang melihat pembuat kebijakan dan publik sebagai audiens kunci bagi riset mereka," tutur Eko.
Berdasarkan kajian aspek sosial, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara mencontohkan kejadian multi bencana di Sulawesi Tengah. Terkait dengan gempa bumi yang diikuti dengan tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah itu, pada dasarnya masyarakat di Sulawesi Tengah memiliki pengetahuan tentang lokasi tempat tinggal mereka.
Namun, semua pengetahuan tersebut belum diakomodasi di dalam perencanaan wilayah serta upaya pengurangan risiko bencana. "Bahkan, pada saat dilakukan pemulihan pasacabencana, aspek pengetahuan dari masyarakat juga belum dapat diintegrasikan secara kohesif," ujarnya.