REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tak perlu menerbitkan peraturan menteri soal mekanisme pembatasan media sosial. Sebab, pembatasan media sosial terkait dengan urusan kebebasan berpendapat yang dimuat dalam UUD 1945.
"Bahwa pembatasan itu harus diatur dengan Undang - undang, tidak bisa diatur dengan Peraturan Menteri," kata Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam, melalui komunikasi daring, Rabu (21/10).
Pembuatan mekanisme pembatasan itu harus dengan undang-undang lantaran dalam proses pembuatan undang-undang, rakyat ikut dilibatkan. Pelibatan rakyat itu muncul melalui peran DPR RI sebagai wakil dari rakyat.
"Walaupun masyarakatnya diwakili DPR. Tapi ruang itu adalah ruang demokratis, karena ruang itu adalah ruang demokratis. itu jadi penting," kata Anam.
Soal rencana adanya permen pembatasan media sosial, Anam mengingatkan, Komnas HAM sudah memproduksi dan mengupayakan standar setting dan norma soal kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam ruang digital. "Sebenarnya pak menteri tidak perlu membuat peraturan tapi gunakanlah standard setting dan norma yang dibuat oleh Komnas HAM terkait kebebasan ekspresi dan berpendapat," ujarnya.
Standar itu, dia mengatakan, bisa digunakan Kemenkominfo untuk mendefinisikan mana konten-konten media sosial yang dianggap mellanggar kebebasan berekspresi, hingga layak ditindak hukum. "Di situ sudah diatur bagaimana pembatasan orang berekspresi baik secara langsung maupun melalui medsos, karena prinsip dasarnya tidak boleh menghadirkan kebencian, tidak boleh memprovokasi kekerasan, pornografi dalam ruang tertentu itu sudah diatur," kata Anam menegaskan.
Sebelumnya, Kemenkominfo mengatakan, proses pemblokiran akun media sosial atau website yang menyebarkan kabar bohong atau hoaks sudah sesuai dengan tahapan. Kemenkominfo juga mempunyai peraturan menteri (permen) terkait tahapan pemblokiran hoaks.
"Kita ada Permen baru lebih jelas sebelum ada pemblokiran itu tahapan dikenakan sanksi administrasi seperti denda, supaya ada efek jera, aturannya jelas, misalnya ada permintaan takedown itu harus ada bukti hukum, nggak bisa minta blokir aja, itu ada tahapannya nggak mungkin di era reformasi pemerintah tangan besi," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan.