REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan Indonesia saat ini masih memiliki persoalan gizi buruk, gizi kurang serta angka prevalensi stunting cukup tinggi. Ia mengungkap, berdasarkan data hasil survei status gizi balita Indonesia tahun 2019, angka prevalensi stunting sebesar 27,67 persen.
"Ini artinya setiap satu dari empat anak balita di Indonesia mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang cukup lama," ujar Muhadjir saat Rapat Koordinasi Teknis Nasional Percepatan Pencegahan Stunting Tahun 2020 secara daring, Rabu (21/10).
Ia mengatakan, kondisi stunting ini terjadi jika anak kekurangan gizi dalam jangka waktu 1000 hari kehidupan, dimulai dari janin, dalam kandungan hingga bayi usia dua tahun. Padahal, 1000 hari kehidupan dinilai sebagai periode emas pertumbuhan manusia, karena pada waktu tersebut otak berkembang mencapai tingkat optimal.
Selain itu, periode emas itu akan berpengaruh kepada siklus kehidupan berikutnya. Sehingga jika pada 1000 hari awal kehidupan ini, tidak optimal, maka dipastikan mempunyai dampak jangka sangat panjang
"Yaitu ketika dia tumbuh menjadi tenaga kerja atau angkatan kerja produktif akan tidak bisa tumbuh secara maksimal," kata Muhadjir.
Mantan Menteri Pendidikan ini pun menyingung data Bank Dunia yang menyebut 137 angkatan kerja Indonesia saat ini, sekitar 54 persen pernah mengalami stunting pada 1.000 hari awal kehidupan.
"Tentu kondisi inilah yang akan kita jadikan dasar untuk menganggap kenapa masalah stunting di Indonesia ini menjadi persoalan yang paling strategis dalam upaya kita utk membangun sumber daya manusia yang maju dan berkeunggulan," katanya.
Sebab, SDM yang unggul dibutuhkan Indonesia di masa depan, mengacu hasil survei Penduduk Antar Sensus 2015 tentang proyeksi penduduk Indonesia, bahwa tahun 2020 Indonesia memiliki penduduk sebanyak 269,6 juta.
Sedangkan pada periode emas pada 2045 diperkirakan akan mencapai 309 juta. Saat ini 68,7 persen jumlah penduduk adalah penduduk usia produktif yaitu yg berusia antara 15 hingga 64 tahun.
"Jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar adalah merupakan peluang besar untuk menjalankan program pembangunan yang kita kenal sebagai bonus demografi atau demographic dividen," katanya.
Namun ia mengingatkan penanganan masalah stunting ini tidak hanya sekedar masalah gizi buruk tetapi juga terkait dengan aspek-aspek yang lain seperti misalnya kesehatan reproduksi khususnya kesehatan reproduksi ibu, sanitasi lingkungan, ketersediaan air bersih dan juga tata ekonomi keluarga yang buruk.
Ia pun mengajak seluruh komponen masyarakat dan Pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk betul betul mengoptimalkan program untuk menunjang penanganan maslah stunting di Indonesia ini.
Para pemimpin daerah harus dapat mengidentifikasi program dan kegiatan apa saja yg selama ini sudah ada dan program apa saja yang masih diperlukan utk melakukan pprcepatan pencegahan stunting. Untuk itu Pemerintah daerah wajib menyiapkan perangkat pendukung baik SDM ataupun kebijakan dalam rangka percepatan penanganan stunting.
"Pada akhirnya dengan mempertimbangkan tingginya prevalensi stunting di Indonesia, dan besarnya dampak yang ditimbulkan dari stunting ini saya mengajak bapak dan ibu gubernur, bapak dan ibu bupati dan walikota untuk mencanangkan komitmen yang kuat untuk melakukan percepatan pencegahan stunting di wilayah masing masing," katanya.