REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pembahasan penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) sudah melibatkan partisipasi semua pihak, terutama kaum buruh dan pekerja. Bahkan, banyak saran dari kelompok pekerja dan buruh sudah diakomodasi dalam RUU inisiatif pemerintah itu.
Menurut Anwar, pembahasan dengan DPR sendiri dalam menyusun RUU Omnibus Law ini bahkan mencapai 64 kali pertemuan. Dalam konteks ketenagarkerjaan, pemerintah juga mendapat mandat untuk melaksanakan dan mengawal klaster ketenagakerjaan.
"Prosesnya kami selalu melibatkan berbagai serikat pekerja dan buruh. Kami mencatat ada 9 kali pertemuan yang kamj lakukan, Tim Tripartit antara Apindo, kemudian ada serikat pekerja dan serikat buruh," kata Anwar dalam diskusi virtual bertajuk Dinamika RUU Menjadi UU Cipta Kerja belum lama ini.
Anwar menekankan aspek demokrasi menjadi dasar dalam membahas RUU Omnibus Law itu. Karena itu, pemerintah menyadari ada perbedaan pendapat antara yang setuju dan tidak mengenai pembahasan klaster tenaga kerja ini. Namun, Anwar mengingatkan, Kementerian Ketenagakerjaan sudah memperjuangkan setiap aspirasi buruh.
"Dalam dialog ada yang memang kita proses memberi, tetapi juga harus menerima. Sehingga dengan begini Kementerian Ketenagakerjaan berdiri di dua sisi, satu sisi memang memberikan perlindungan yang optimal agar yang namanya pekerja, buruh terlindungi. Namun demikian kita juga harus memperhatikan aspek yang lain," kata dia.
Menurut Anwar, RUU Omnibus Law yang sudah disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Hal ini melihat penduduk usia kerja produktif Indonesia yang mencapai 197,91 juta. Sementara angka pekerja yang tidak penuh atau pengangguran mencapai 45,84 juta orang. Angka ini terus bertambah setiap tahun mengingat datangnya tenaga kerja baru.
"Ini adalah mengapa RUU ini dinamakan Cipta Kerja. Artinya kita butuh investasi , etapi saat bersamaan kita bagaimana merespons menciptakan berbagai peluang pekerjaan," kata Anwar.
Anwar juga mencatat ada beberapa penolakan buruh terkait isu tenaga kerja asing (TKA). Namun, Anwar mengingatkan bahwa UU Omnibus Law sama sekali tidak memberikan ruang kepada TKA untuk masuk. TKA yang masuk hanya boleh memiliki kompetensi khusus yang tidak dimiliki tenaga Indonesia dan terikat dalam waktu.
"Contohnya adalah yang mereka memiliki keahlian yang sangat spesifik, yang memang kita tidak ada. Seandainya mesin itu rusak misalnya, maka dia akan membutuhkan waktu. Seandainya tidak ada orang yang segera memperbaiki. Ini lah satu relaksasi. Setiap pemberi kerja wajib memiliki yang namanya rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA). Dan pemberi kerja perseorangan dilarang memperkerjakan TKA," kata dia.
Aturan selanjutnya yang menguntungkan buruh dan pekerja, lanjut Anwar, ialah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). PKWT, menurut Anwar, memberikan perlindungan untuk kelangsungan bekerja beserta haknya sampai pekerjaan selesai. Di akhir PKWT, pekerja juga mendapat kompensasi yang sebelumnya tidak ada dalam Undang-undang.
Selain itu, tambah dia, terkait outsourching atau alih daya juga diatur dengan sedemikian ketat. Apabila terjadi setiap pengalihan temaga kerja, maka masa kerjanya harus dihitung, dan perlindungan hak-hak pekerja harus dipersyaratkan dalam perjanjian kerja.
"Ini yang sebelumnya tidak ada. Artinya kalau satu perusahaan mempekerjakan orang, biasanya mulai dari 0 lagi, di sini tidak. Mereka yang namanya pengusaha alih daya dia harus mengakui catatan-catatan pekerjaan yang sudah dilakukan pekerja sebelumnya. Dan ini akan diperhitungkan sebagai komponen tentunya besaran gaji," kata Anwar.