Rabu 14 Oct 2020 22:31 WIB

Dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) UU MK, Haruskah Dikhawatirkan?

Pasal 59 ayat (2) sudah dihapus dalam revisi terbaru Undang-Undang MK

Ketua Mahkamah Konstiusi selaku hakim ketua Anwar Usman (kanan) bersama hakim anggota Enny Nurbaningsih (kiri) dan Aswanto (tengah) bersiap memimpin sebuah sidang uji materi di Gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Mahkamah Konstiusi selaku hakim ketua Anwar Usman (kanan) bersama hakim anggota Enny Nurbaningsih (kiri) dan Aswanto (tengah) bersiap memimpin sebuah sidang uji materi di Gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febrianto Adi Saputro

Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah disahkan DPR pada 5 Oktober dan telah diterima oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari ini. Meski para penolak tetap mengharapkan Jokowi menerbitkan Perppu, uji materi UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi jalan akhir membatalkan undang-undang tersebut.

Baca Juga

Belakangan, ruang publik di media sosial (medsos) dijejali oleh perdebatan atas pertanyaan masihkah relevan menguggat UU Ciptaker ke MK pascarevisi UU MK? Sebagian kalangan berpendapat, pengujian UU Ciptaker ke MK merupakan hal yang percuma menyusul dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU MK setelah direvisi.

Pasal yang dihilangkan dalam revisi UU MK terakhir itu berbunyi, "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

Menurut tafsir sebagian kalangan yang kemudian viral di medsos, bahwa setelah Pasal 52 ayat (2) di atas dihapus, maka pemerintah dan DPR ke depannya tidak harus menindaklanjuti putusan MK. Benarkah demikian?

Pihak MK menegaskan, putusan pengujian undang-undang bersifat final dan mengikat sejak diucapkan, sehingga harus dilaksanakan. Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono, Selasa (13/10), mengatakan, tanpa norma dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah dihapus, sifat putusan MK tidak berubah.

"Walaupun tidak ada norma itu, atau norma itu dihapus, UUD 1945 tegas menyatakan MK itu peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat mengikat. Harus ditaati, dihormati, dan dilaksanakan," tutur Fajar.

Fajar menuturkan, dihapusnya norma itu dari UU MK yang baru merupakan bagian dari isi putusan MK Nomor 49/2011 tentang pengujian UU MK. Melalui putusan itu, norma dalam pasal itu dinyatakan inkonstitusional oleh MK sehingga oleh pembentuk undang-undang sekalian dihapus.

Selain itu, norma yang dihapus tersebut sebelumnya mungkin dimaknai putusan MK ditindaklanjuti hanya "jika diperlukan" sehingga akan memunculkan putusan yang perlu dan tidak perlu.

"Norma ini mengandung ketidakpastian, kekeliruan, dan mereduksi sifat final dan mengikat putusan MK. Padahal, semua putusan MK, terutama yang memuat legal policy baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh adressat putusan, termasuk pembentuk undang-undang," ucap Fajar.

Ketua MK periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie juga menegaskan, putusan lembaga yang melakukan pengujian undang-undang itu berlaku final dan mengikat sejak dibacakan dan tidak memerlukan eksekusi. Melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (13/10), menurut dia, Pasal 59 ayat (2) UU MK justru sering disalahpahami.

"Pasal itu malah bisa disalahpahami seakan putusan MK baru berlaku kalau sudah ditindaklanjuti. Yang benar, putusan MK berlaku final dan mengikat sejak dibacakan," ujar pakar hukum tata negara itu.

Jimly menuturkan, putusan pengujian undang-undang yang menyebabkan perubahan norma tidak memerlukan eksekusi seperti putusan Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya yang mengadili orang atau kasus konkret. Tanpa tindak lanjut pemerintah mau pun DPR, ia menegaskan saat pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang yang dikabulkan otomatis berubah.

Adapun, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahudin menilai, dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU MK itu menjadi salah satu alasan sebagian kalangan ragu untuk mengambil langkah uji materi UU Ciptaker. Penghapusan pasal itu banyak dianggap sebagian kalangan merupakan skenario dari DPR dan Presiden untuk menihilkan putusan MK, agar DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti putusan MK.

Sehingga, terbangunlah asumsi di masyarakat bahwa seandainya pun UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian atau seluruhnya oleh MK, maka hal itu akan sia-sia sebab UU tersebut tetap bisa diberlakukan oleh DPR dan Presiden. Padahal, menurut Said, ini asumsi yang keliru.

"Perlu diketahui, penghapusan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 melalui UU 7/2020 bukanlah kemauan DPR dan Presiden, melainkan pasal itu dihapus justru karena diperintahkan oleh MK," tuturnya.

Ia menjelaskan, ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 sudah dibatalkan oleh MK sejak sembilan tahun yang lalu melalui Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011. Jadi, memang sudah seharusnya Pasal 59 ayat (2) itu dihapus dalam UU 7/2020.

"Penghapusan pasal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi sifat Putusan MK yang memiliki kekuatan hukum terakhir dan mengikat (final and binding), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945," ungkapnya.

"Jadi, sekalipun Pasal 59 ayat (2) telah dihapus oleh UU 7/2020, dalam hal JR UU Cipta Kerja dikabulkan dan UU tersebut, misalnya, dibatalkan oleh MK, maka tidak ada tafsir lain lagi, ‘Good bye omnibus law’," kata Said menambahkan.

photo
Fakta Angka UU Cipta Kerja - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement