REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Uji Sukma Medianti, Eva Rianti, Antara
Aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja mengakibatkan ribuan orang ditahan oleh polisi. Di Jakarta dari 1.377 pendemo yang ditangkap kemarin (13/10), terdapat lima anak usia sekolah dasar.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) meminta semua elemen masyarakat tidak melibatkan anak-anak dalam aksi unjuk rasa. Komnas PA menyebut sepanjang aksi menolak UU Cipta Kerja ditemukan ribuan anak yang tidak mempunyai kepentingan ikut dalam demostrasi menolak UU Cipta Kerja di berbagai daerah.
Seperti di DKI Jakarta, ditemukan fakta aparat keamanan menangkap ratusan demonstran berstatus pelajar dari berbagai titik seperti di depan Istana Kepresidenan, Harmoni, Pasar Senen, Jembatan Layang Pasar Rebo dan Bundaran HI. Pelajar tersebut disinyalir didatangkan dari berbagai daerah untuk menciptakan situasi memanas dan gaduh.
Demikian juga di Medan, Sumatra Utara ditemukan ratusan pelajar di tengah-tengah demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, bentrok dengan aparat keamanan. Begitu juga di Makassar, Bandung dan Pontianak. Mereka terlibat dalam demonstrasi yang dilakukan elemen masyarakat, buruh, mahasiswa serta aktivis pro demokrasi. Hal yang sama juga ditemukan di Pematangsiantar Sumut, Jawa Timur dan Batam.
"Yang memprihatinkan, anak-anak berstatus pelajar tersebut disinyalir didatangkan dari berbagai daerah untuk saling lempar dengan aparat keamanan dalam aksi demonstrasi untuk menciptakan situasi memanas dan gaduh," ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dalam keterangannya, Rabu (14/10).
Arist menjelaskan banyak anak-anak yang diamankan aparat kepolisian mengaku mereka dikerahkan melalui pesan berantai menggunakan media sosial. Mereka juga tidak tahu apa yang diperjuangkan.
"Kami hanya diperintahkan berkumpul di satu tempat lalu disediakan kendaraan dan ada juga yang harus berjuang menumpang truk secara berantai," kata Arist mengutip pengakuan seorang anak yang diamankan di Polda Metro Jaya.
Pihaknya menentang bila anak-anak sengaja dilibatkan atau dieksploitasi secara politik untuk kepentingan dan tujuan kelompok tertentu. "Sudah tidak terbantahkan lagi bahwa anak-anak sengaja dihadirkan dalam aksi demonstrasi untuk menolak UU Cipta Kerja untuk tujuan dan kepentingan kelompok tertentu," katanya.
Arist pun meminta semua pihak agar tidak melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan politik, demonstrasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Mengerahkan anak dalam kegiatan politik yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan mereka adalah bentuk kekerasan dan eksploitasi politik dan kejahatan terhadap kemanusiaan. "Janganlah kita memanfaatkan anak untuk kepentingan politik," pesannya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri di Kompleks Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (14/10), mengatakan lima anak yang masih duduk di bangku SD diamankan karena terindikasi akan mengikuti demontrasi dan membuat kerusuhan. "Orang tuanya harus datang, kami akan sampaikan ke sekolah-sekokahnya bahkan ke Disdik agar bisa membantu edukasi pada mereka-mereka ini. Karena juga punya peran selain orang tua dan sekolah-sekolah," ujar Yusri.
Yusri mengaku bagaimana anak-anak tersebut beraksi, sangat garang dan seperti tidak ada takutnya. Mulai dari melempari petugas, dan merusak fasilitas umum. Bahkan, dari 1.377 orang yang diamankan, hampir hampir 75-80 persen atau sekitar 800 orang adalah anak-anak sekolah. Oleh karena itu, mereka yang diamankan bisa dilepaskan jika orang tuanya datang.
"Kami juga sudah minta dari Dinas Pendidikan dari masing-masing sekolahnya, pernyataan ini akan serahkan ke sekolahnya masing-masing untuk jadi perhatian juga sekolah-sekolah maupun dinas pendidikan," tutur Yusri.
Yusri menambahkan, hampir semua anak-anak yang telah diamankan dan dimintai keterangan, mereka mengaku mendapatkan undangan demonstrasi dari media sosial. Bahkan, di dalam alat komunikasi ponsel mereka ditemukan informasi percakapan kapan dan di mana mereka berkumpul. "Kasian anak-anak kita ini generasi bangsa kita ini diajak untuk melakukan anarkis-anarkis," kata Yusri.
Sebenarnya, Yusri mengklaim pihak Kepolisian telah melakukan tindakan preventif dengan melakukan razia di sejumlah titik. Hasilnya, jajaran Polda Metro Jaya pun sudah mengamankan cukup banyak anak-anak yang memang berniat hendak melakukan kerusuhan. Mereka datang dari tiga jurusan, Jawa Barat melalui Bekasi, Bogor melalui Depok, dan Banten melalui Tangerang.
"Kami menemukan satu Damtruk isinya anak-anak semua yang tujuannya adalah mau bergabung untuk melakukan demo dan melakukan kerusuhan," keluh Yusri.
Mayoritas orang tua pelajar yang ditangkap mengaku tidak mengetahui anaknya terlibat unjuk rasa di Jakarta sampai berujung penangkapan oleh polisi. "Itu anak nggak bilang apa-apa sama saya. Cuma pingin main saja katanya. Saya nggak tahu kalau ternyata ikut demo," kata orang tua pelajar, Minah (42), saat menjemput anaknya di Mapolsek Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu siang.
Warga Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, itu mendatangi Mapolsek Pulogadung di Jalan Pemuda Nomor 17 Jakarta Timur untuk menjemput putranya berinisial AN (16). Sekitar pukul 11.30 WIB, Kapolsek Pulogadung Kompol Beddy Suwendy memutuskan untuk memulangkan AN bersama 41 demonstran remaja kepada orang tua mereka setelah proses pendataan 1x24 jam di kantor polisi.
Perempuan yang berprofesi sebagai pengepul barang bekas dekat Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang itu sempat panik AN tidak pulang ke rumah hingga dini hari. Minah akhirnya mengetahui AN ikut unjuk rasa di Jakarta setelah ada pemberitahuan polisi bahwa putranya ditangkap di Simpang Tugas, Jalan Pemuda, Rawamangun, pada Selasa (13/10) pagi.
Saat itu, AN bersama belasan rekannya dari Bekasi dihadang polisi saat sedang menuju ke Monas untuk bergabung bersama massa unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja. "Pas dikasih tahu begitu, saya kesal juga. Sempat takut dia kenapa-kenapa," katanya.
Minah dan AN akhirnya dipertemukan di pelataran parkir Mapolsek Pulogadung. Sambil menangis, keduanya saling berpelukan. Bahkan AN bersimpuh di kaki Minah seraya meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
Hal serupa pun disampaikan Simbolon (45). Putranya, FS yang duduk di bangku SMK pergi begitu saja dari rumah di kawasan Rawalumbu, Kota Bekasi, tanpa pemberitahuan.
Saat dipertemukan, Simbolon sempat memarahi FS atas perbuatannya. Namun kemarahan itu reda setelah polisi meminta seluruh orang tua dan anaknya saling memaafkan.
"Silakan kalian ingat jasa orang tua kalian selama ini. Bagaimana kalian bisa tumbuh besar sampai sekarang dan bisa bersekolah. Peluk mereka, minta maaf pada mereka," kata Kapolsek melalui pengeras suara.
Hingga Rabu siang dilaporkan total 41 demonstran remaja terjaring aparat di posko penyekatan Jalan Bekasi Timur Raya hingga Jalan Pemuda, Rawamangun.
Ke-13 di antaranya pelajar SMP, sembilan pelajar SMA, satu pelajar SD, dua orang santri, sedangkan sisanya adalah remaja putus sekolah. Mereka berasal dari Kota dan Kabupaten Bekasi dan sebagian dari Duren Sawit Jakarta Timur.
"Tidak ada yang bawa senjata tajam, tapi satu di antaranya reaktif Covid-19. Sudah kita antar ke Wisma Atlet untuk penanganan lebih lanjut," kata Beddy.
Sementara itu di Bekasi, 50 pelajar di bawah umur yang diamankan Polres Metro Bekasi Kota sudah dikembalikan ke orang tua masing-masing. Penjemputan yang dilakukan oleh orang tua dan wali anak di Aula Polres Metro Bekasi Kota itu diwarnai oleh isak tangis. Mereka ditahan selama satu malam.
“Hari ini kita hadirkan orang tuanya, sehingga kita harapkan para pelajar tersebut dapat minta maaf kepada orang tua,” kata Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Wijonarko, di Kota Bekasi, Rabu (14/10).
Mereka diamankan di dua titik pemeriksaan yaitu di Stasiun Bekasi dan Jalan Sultan Agung, Medan Satria. Saat petugas Polres Metro Bekasi Kota sedang melaksanakan penyekatan di wilayah perbatasan Cakung Jakarta Timur-Kota Bekasi, rombongan pelajar melintas dengan menggunakan mobil bak terbuka. Kemudian, mobil tersebut dihentikan oleh petugas untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota dan diintrogasi dan pendataan, kemudian setelah didata semua pelajar yang diamankan dikirim ke Mako Polrestro Bekasi Kota untuk dilakukan pembinaan.
“Tentunya ini menjadi bahan evaluasi bagi kita semua dan kami mengimbau kepada warga masyarakat khususnya kepada orangtua untuk mengawasi anaknya kemudian anaknya juga bisa sadar untuk tidak terprovokasi oleh ajakan-ajakan,” jelasnya.
Sedangkan di Kota Tangerang, empat dari enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus demonstrasi anarkis tolak UU Cipta Kerja di Jalan Daan Mogot, Tangerang, merupakan pelajar. Keempatnya kini diamankan pihak kepolisian di Polres Metro Tangerang Kota.
"Dari enam tersangka ini empat di antaranya statusnya pelajar, satu buruh, dan satu pengangguran," kata Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Pol Sugeng Hariyanto.
Namun, Sugeng melanjutkan, nantinya keempat tersangka yang masih pelajar menjalani proses yang berbeda dari dua tersangka lainnya yang sudah dewasa. Namun pihaknya tetap menahan empat tersangka itu.
"Kita beritahukan ke pihak sekolah dan keluarga. (Keenam) tersangka ini ada dua berkas. Satu yang dewasa, satu lagi yang empat anak-anak ini tentu memiliki aturan proses yang berbeda. Tetap ditahan sekarang walau beda," jelas Sugeng.
Dia menuturkan, para pelajar yang merupakan siswa SMK itu melakukan tindakan anarkisnya dalam agenda demonstrasi secara sadar. Namun, ketika ditanya ada atau tidaknya organisator yang menaungi mereka, Sugeng belum bisa memberi keterangan secara pasti.
"Kita masih dalami. Hasil analisis kita masih dalami dan komunikasi, nanti siapapun yang terlibat dan tersangkut akan kami proses," ujarnya.
Adapun, ketika disinggung soal adanya indikasi menerima uang, Sugeng menyebut belum ada indikasi tersebut. Yang jelas, kata dia, para tersangka disebut mendapat ajakan via media sosial atau whatsapp untuk mengikuti agenda demonstrasi tersebut.
"Mereka dapat ajakan ikut dari media sosial dan WhatsApp. Motifnya, sepertinya ada nuansa kebencian untuk menyerang aparat keamanan karena kita menghalangi aksi mereka," jelas Sugeng.
Sugeng menambahkan, para pelajar yang terlibat aksi anarkis tersebut masuk dalam basis data dan menjadi catatan tersendiri saat mengurus SKCK ke depannya. Ia mengimbau masyarakat terlebih pelajar untuk tidak melakukan aksi anarkis serupa.