REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar, Antara
Beberapa pasal Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan akhirnya dikembalikan ke UU Cipta Kerja (Ciptaker). Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas menerangkan, pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan (existing) kembali dimasukkan ke dalam pasal 79, 88 A, dan 154 UU Ciptaker.
Supratman mencontohkan, pasal 79 (aturan cuti dan istirahat mingguan pekerja) dalam draf RUU Ciptaker sebelum disahkan di rapat paripurna DPR pada 5 Oktober berisi lima ayat. Padahal, dalam rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker sebelumnya, DPR ingin mengembalikan pasal itu sesuai UU existing.
"Pasal 79 ayat 1, ayat 2, ayat 3, itu juga adalah hasil keputusan Mahkamah Konstitusi. Nah, itu yang kami kembalikan semua (kepada ketentuan UU Ketenagakerjaan)," kata Supratman dalam konferensi pers yang digelar DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (14/10).
Begitu pula dengan pasal 154 UU Ciptaker. Saat proses editing draf UU Ciptaker, kata Supratman, sempat terjadi simplifikasi. Padahal sesuai rapat Panitia Kerja, diputuskan pasa 154 UU Ciptaker berisi pasal 161 sampai pasal 172 UU Ketenagakerjaan (terkait dengan aturan PHK).
"Jadi itu adalah keputusan Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang kami (Baleg DPR RI) masukkan supaya sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh Panitia Kerja," kata Supratman.
Supratman mengeklaim bahwa tindakan mengembalikan pasal-pasal UU Ketenagakerjaan ke dalam UU Ciptaker yang sudah disahkan di Rapat Paripurna DPR tidak melanggar UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya, undang-undang dikatakan cacat formal apabila DPR memasukkan pasal yang bukan merupakan keputusan di dalam Panitia Kerja.
"Seharusnya tidak (melanggar aturan). Karena memang keputusan panja itulah yang harus disahkan," ucapnya.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin juga menegaskan anggota DPR tidak akan berani melakukan penambahan pada saat proses editing draf UU Ciptaker tersebut. Azis yakin dengan integritas anggota Baleg DPR.
"Saya jamin, sesuai sumpah jabatan saya dan seluruh rekan (anggota DPR RI) yang ada di sini, tentu kami tidak berani dan tidak akan memasukkan selundupan pasal," kata Azis.
Azis mengatakan, penambahan apa pun yang dimasukkan dalam draf UU Ciptaker yang telah diketuk palu pada Rapat Paripurna DPR merupakan tindak pidana.
"Itu merupakan tindak pidana, apabila ada selundupan pasal," kata Azis.
Ihwal adanya beberapa versi draf UU Ciptaker dengan jumlah halaman berbeda, Azis menjelaskan, hal itu terjadi karena adanya perbedaan jenis kertas yang digunakan oleh Baleg DPR dalam mengetik undang-undang tersebut.
“Proses pengetikannya di Kesetjenan (DPR) menggunakan legal paper yang sudah menjadi syarat ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Sehingga besar tipisnya yang berkembang di masyarakat ada 1.000 sekian, 900 sekian,” ujar Azis.
Selain itu, kata Azis juga ada perbaikan dari format penulisan, seperti jenis huruf, spasi, hingga margin. Namun ditegaskannya, tidak ada substansi yang diubah selama penyempurnaan UU Ciptaker yang dilakukan selama sepekan terakhir.
“Mengenai jumlah halaman, itu adalah mekanisme pengetikan dan editing tentang kualitas dan besarnya kertas yang diketik. Proses yang dilakukan di Baleg itu menggunakan kertas biasa,” ujar Azis.
Sehingga, naskah final UU Ciptaker yang benar adalah berjumlah 812 halaman. Adapun rencananya, naskah yang sudah final tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada Rabu (14/10).
Kepala Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Oce Madril menilai, UU Ciptaker memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. Oce mengatakan, proses pembentukan UU Ciptaker selama ini berlangsung cepat, tertutup dan minim partisipasi publik. Dalam penyusunannya, publik kesulitan memberikan masukan karena akses ke draf RUU Cipta Kerja tertutup.
Akses publik terhadap dokumen RUU Cipta Kerja baru tersedia setelah selesai dirancang pemerintah dan diserahkan ke DPR. Bahkan, Oce mengingatkan, DPR dan pemerintah melanjutkan pembahasan RUU di tengah tengah pandemi Covid-19.
"RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode maupun substansinya," kata Oce, Selasa (6/10) lalu.
Adapun, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai beragam versi naskah RUU Ciptaker yang beredar di publik bukanlah sesuatu hal kebetulan. Ia menduga hal tersebut sengaja didesain untuk mengacaukan informasi di ruang publik.
"Adanya naskah yang beragam versi tersebut hanya akan membuat publik mempersoalkan hal-hal teknis soal ketersediaan naskah RUU tanpa punya bahan yang valid untuk mengkritisi substansi RUU tersebut," kata Lucius dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (13/10).