Senin 12 Oct 2020 23:07 WIB

Bima: Apeksi Tunggu Draf Final UU Ciptaker

Bima menyebut Apeksi belum menentukan jadwal pembahasan UU Ciptaker

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.  Wakil Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor, Bima Arya mengatakan, pihaknya akan membahas UU Ciptaker secara internal setelah menerima draf final RUU Ciptaker tersebut.
Foto: Thoudy Badai/Republika
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto. Wakil Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor, Bima Arya mengatakan, pihaknya akan membahas UU Ciptaker secara internal setelah menerima draf final RUU Ciptaker tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) masih menunggu draf Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang disahkan di DPR RI pada Senin (5/10) lalu. Wakil Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor, Bima Arya mengatakan, pihaknya akan membahas UU Ciptaker secara internal setelah menerima draf final RUU Ciptaker tersebut.

"Apeksi rencananya akan melakukan pembahasan sikapi UU (Ciptaker) ini. Masih menunggu draf final dari DPR RI," ujar Bima kepada Republika, Senin (12/10).

Baca Juga

Namun, ia juga belum mengetahui waktu pelaksanaan pembahasan UU Ciptaker karena menyesuaikan jadwal para wali kota lainnya. Sementara itu, ia juga belum menerima undangan dari Kementerian Dalam Negeri terhadap pembahasan peraturan turunan UU Ciptaker yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.

Menurut dia, menyusun produk hukum turunan dari UU Cipta Kerja berupa 36 peraturan pemerintah dan tujuh keputusan presiden bukan perkara mudah. Pembentukannya perlu diawasi bersama oleh semua pihak untuk menjamin produk hukum tersebut sesuai dengan amanat konstitusi dan tidak menimbulkan masalah baru dalam implementasi di daerah.

Di sisi lain, Bima mengaku telah menyoroti beberapa hal yang diatur dalam UU Ciptaker berdasarkan draf berisi 905 halaman yang disahkan di sidang paripurna.

"Tanpa proses evaluasi atas pelaksanaan desentralisasi yang melibatkan berbagai pihak terutama pemerintah daerah, UU Cipta Kerja cenderung mengembalikan kewenangan daerah ke pusat," kata Bima.

Menurut dia, resentralisasi ini terlihat pada perizinan berusaha, tata ruang, bangunan gedung, dan lingkungan hidup. Bima mengatakan, terdapat beberapa pasal yang ditambahkan dan beberapa pasal yang dihapus dari UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menarik kewenangan daerah.

Kewenangan pusat mutlak di proses analisis dampak lingkungan (amdal) dengan point penetapan lembaga uji kelayakan oleh pemerintah pusat (Pasal 24 ayat 2 UU Ciptaker pengganti pasal 24 UU 32/2009). Pasal 29 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dihapus di UU Ciptaker.

Isinya adalah dokumen amdal dinilai oleh komisi penilai amdal yg dibentuk Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. Selama ini, kata Bima, di daerah dapat membentuk komisi amdal dengan syarat sertifikasi amdal dari masing-masing unsur (akademisi, pemda, ahli/praktisi lingkungan).

Perubahan pada Pasal 63 UU Cipta Kerja dari UU 32/2009 adalah kewenangan daerah. Provinsi maupun kabupaten/kota sebelumnya bertugas dan berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL.

Bima mengatakan, dalam perubahan pasal 63 ayat (3) point d, hanya melaksanakan kebijakan mengenai amdal. Kewenangan menetapkan hilang dan menetapkan amdal menjadi kewenangan pusat.

Dengan demikian, Bima mengaku ingin membuka dialog dengan aktivis lingkungan hidup dan akademisi. "Saya akan dialog dengan teman-teman aktivis lingkungan hidup dan kampus untuk tukar pikiran," tutur Bima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement