REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Buruh menantang balik pemerintah membuktikan dan menyampaikan draft asli Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja yang sudah disahkan di Rapat Paripurna di DPR RI pada 5 Oktober lalu. Sebab, sampai saat ini, draft yang dikatakan ada tersebut masih simpang siur di pemerintah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, pihaknya meminta kepada pemerintah dan DPR jujur, mana draft akhir yang menjadi rujukan RUU Cipta Kerja yang disahkan di DPR kemarin. Karena, ada beberapa poin dalam RUU Cipta Kerja yang dia anggap masih simpang siur dalam penjelasan ke masyarakat dan buruh.
"Draf RUU-nya saja tidak jelas. Katanya sampai 905 halaman, kemudian ada yang dapat bertambah 1025 halaman dan terakhir 1035 halaman. Ini berbahaya sekali, rakyat dibodohi seolah meminta rakyat baca, dimana draft akhirnya yang fix belum ada. Bahkan, dikatakan yang kemarin disahkan seperti hanya mengesahkan kertas kosong," kata Said Iqbal dalam Konferensi Pers, di Jakarta, Senin (12/10).
Mengapa demikian karena? Dengan tidak jelasnya draft akhir RUU Cipta Kerja ini, menurut Said Iqbal, maka yang mana menjadi rujukan. Karena, pemerintah melalui menteri dan presiden sejak awal meminta masyarakat dan buruh membaca RUU tersebut agar tidak termakan hoak.
"Persoalannya Serikat Buruh memegang draft yang sampai saat ini masih ada catatan seperti soal Upah Minimum diganti dengan Upah Minimum Bersyarat," ujarnya.
Said Iqbal meminta pemerintah jujur, kalau memang masih ada upah minimum, mengapa disebutkan upah minimum besyarat. Apa yang diinginkan pemerintah dengan istilah tersebut? Karena jangan sampai ini mengelabui buruh lagi. "Karena kata bersyarat ini tidak dikenal dalam ILO. Makna bersyarat ini apa?, apakah ini ingin mengelabui buruh," katanya.
Kemudian soal upah buruh yang katanya mahal. Ia menjelaskan, data dari buku ILO 2014-2015, justru menilai upah dari buruh Indonesia justru lebih murah dibandingkan beberapa negara ASEAN.
Ia memaparkan data upah rata-rata buruh di Laos US$ 114 per bulan, sedangkan upah rata-rata buruh di Kamboja US$ 119 per bulan, upah rata-rata buruh di Indonesia US$ 174 per bulan, Vietnam upah rata-rata buruh US$ 181 per bulan. Kalau Filipina US$ 256, Thailand US$ 326, Malaysia US$ 526.
"Jadi Vietnam lebih mahal dari Indonesia. Karena yang dilihat bukan hanya di Jakarta saja, tapi seluruh daerah di Indonesia. Jadi, dasar menghilangkan UMK dan menggunakan Upah Minimum Bersyarat tidak mendasar," katanya.
Begitu pula soal Upah Minimum Sektoral, yang dihapuskan. Bagaimana mungkin upah pabrik baju atau sandal sama dengan upah buruh pabrik mobil. Tentu ini tidak masuk akal. Maka tidak ada sama rasa sama rata soal upah ini, dan sebenarnya kemarin sudah berlaku.
Kemudian tentang karyawan kontrak dan PKWT disebut ada perlindungan dan ada syarat ketat. Namun kenyataannya, dokumen yang didapat tidak seperti itu.
Begitu juga soal pekerja alih daya atau outsorching, kalau di UU lama outsorching diputus kontrak perusahaan tetap wajib bayar sisa kontrak sebelum dikembalikan ke pihak ketiga atau agen outsorching. Tapi, dalam Omnibus Law ini tidak dijelaskan siapa yang akan membayar sisa kontrak. Kemudian dijelaskan ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Persoalannya siapa yang bayar?, tidak mungkin buruh yang membayar jaminan kehilangan pekerjaan dia sendiri. Dan masih banyak persoalan yang lainnya.
Dari empat isu itu saja, jelas Said Iqbal, sudah menjelaskan tidak ada hoak dari apa yang disampaikan buruh. Tidak ada disinformasi, tidak ada diskomunikasi dari poin-poin yang disampaikan tuntutan buruh.
"Karena apa yang kami jelaskan, adalah sumbernya tervalidasi, terverifikasi dari hasil kesepakatan Panja Baleg dan pemerintah yang screenshotnya kami terima," tegasnya.
Kemudian dari mana lagi? Dari berita yang telah pihak konfederasi buruh verifikasi kepada Panja di Baleg, mana yang sudah dijawab betul adanya dan mana yang tidak benar. "Itu betul, karena ada kesepakatannya dan ada naskahnya. Jadi nggak ada yang hoak," tegas dia.
Justru Said Iqbal menilai, menaker dan Menkoperekonomian yang menyuruh baca RUU Cipta Kerja dan menuduh tuntutan buruh sebagai disinformasi yang perlu dikritisi. Menurut dia, bagaimana mereka menuduh informasi buruh hoaks kalau pembandingnya saja tidak ada. Naskah draft RUU akhir yang sebenarnya mana.
"Kan kita bisa bilang hoaks, kalau ada pembanding yang benar. Bahkan di beberapa media online yang pengesahan kemarin seperti mengesahkan kertas kosong. Jadi kalau dituduh disinformasi, maka tunjukkan mana draft aslinya yang benar," ungkap dia.