Senin 12 Oct 2020 06:06 WIB

Alasan-Alasan Anies Merelaksasi PSBB Ketat DKI

Anies memutuskan DKI Jakarta kembali ke PSBB transisi mulai 12 Oktober.

Suasana deretan gedung perkantoran di Jakarta,Ahad (11/10). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengurangi kebijakan rem darurat di Ibu Kota dengan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi mulai Senin (12/10) hingga Senin (25/10), karena adanya pelambatan kenaikan kasus positif dan kasus aktif Covid-19 meski masih terjadi peningkatan penularan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana deretan gedung perkantoran di Jakarta,Ahad (11/10). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengurangi kebijakan rem darurat di Ibu Kota dengan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi mulai Senin (12/10) hingga Senin (25/10), karena adanya pelambatan kenaikan kasus positif dan kasus aktif Covid-19 meski masih terjadi peningkatan penularan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Rr Laeny Sulistyawati, Haura Hafizhah

Setelah dua kali masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kembali menerapkan PSBB transisi mulai Senin (12/10). PSBB transisi akan berlaku selama dua pekan hingga 25 Oktober.

Baca Juga

"Keputusan ini didasarkan pada beberapa indikator, yaitu laporan kasus harian, kasus kematian harian, tren kasus aktif dan tingkat keterisian RS Rujukan Covid-19," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam keterangan, Aahd (11/10).

Anies menjelaskan, grafik penambahan kasus positif dan kasus aktif harian tampak mendatar sejak dilakukan rem darurat PSBB transisi. Dia mengatakan, dalam tujuh hari terakhir juga terdapat tanda awal penurunan kasus positif harian.

Pelandaian pertambahan kasus harian sejak pengetatan PSBB tampak pada grafik kasus onset dan juga pada nilai Rt atau reproduksi virus. Berdasarkan data yang disusun FKM UI, nilai Rt Jakarta adalah 1,14 pada awal September dan saat ini berkurang menjadi 1,07.

"Yang terjadi selama satu bulan ini adalah kebijakan emergency brake (rem darurat) karena sempat terjadi peningkatan kasus secara tidak terkendali yang tidak diharapkan," katanya.

Anies mengungkapkan, pada periode 26 September sampai 9 Oktober, kembali terjadi penurunan dari kondisi 14 hari sebelumnya, di mana jumlah kasus positif meningkat 22 persen atau sebanyak 15.437 kasus, dibanding sebelumnya meningkat 31 persen atau 16.606 kasus.

Sedangkan, kasus aktif meningkat 3,81 persen atau sebanyak 492 kasus, dibanding sebelumnya meningkat 9,08 persen atau 1.074 kasus. Dia mengatakan, artinya sejak akhir September hingga awal Oktober jumlah kasus aktif harian mulai konsisten mendatar menunjukkan adanya perlambatan penularan.

Dia melanjutkan, pergerakan penduduk semenjak rem darurat terlihat menurun signifikan pada tempat rekreasi, taman dan perumahan. Hal serupa sempat terjadi pada pada pasar, kantor dan pabrik, serta transportasi publik, namun kembali naik pada 1 pekan terakhir.

Anies mengatakan, terjadi penurunan proporsi penemuan kasus pada klaster perkantoran selama satu pekan terakhir. Akan tetapi, terjadi peningkatan penemuan kasus pada klaster keluarga/pemukiman. Kepatuhan protokol kesehatan di lingkungan rumah dan penguatan RT/RW/kader diperlukan.

"Setelah stabil, kita mulai mengurangi rem tersebut secara perlahan, secara bertahap. Kami perlu tegaskan bahwa kedisiplinan harus tetap tinggi sehingga mata rantai penularan tetap terkendali dan kita tidak harus melakukan emergency brake kembali," katanya.

Pesan IDI

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengingatkan Pemprov DKI Jakarta yang kembali menerapkan PSBB transisi dan berlaku mulai Senin (12/10) besok. PSBB transisi dilakukan saat kasus virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) di ibu kota belum turun signifikan.

"Relaksasi PSBB transisi DKI Jakarta besok dilakukan ketika kasus Covid-19 di Jakarta masih melandai. Sehingga, jadikan pengalaman PSBB transisi yang pertama kemarin sebagai pelajaran," ujar Menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto saat dihubungi Republika, Ahad (11/10).

Kalau upaya ini tidak dilakukan, ia khawatir terjadi ledakan kasus Covid-19, sama seperti kejadian PSBB transisi seperti kemarin yang memunculkan klaster baru perkantoran. Ia meminta kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan memakai sabun (3M).

Selain itu, ia meminta Pemprov DKI Jakarta melakukan pengawasan. Pria yang juga Ketua IDI DKI Jakarta itu meminta pengawasan harus betul-betul ketat dan ditegakkan. Sebab, ia menilai, pengawasan PSBB transisi yang pertama belum maksimal.

Ia meminta Pemprov DKI Jakarta turun ke lapangan ke semua tempat yang membuat pengunjungnya membuka masker, termasuk restoran. Dia melanjutkan, tempat makan ini menjadi sumber penularan Covid-19. Terkait kapasitas pengunjung yang dibatasi termasuk restoran, Slamet meminta penggunaan masker yang utama dilakukan.

"Maskernya juga harus memenuhi syarat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu tiga lapis," katanya.

Tak hanya itu, ia meminta Pemprov DKI Jakarta juga mengawasi operasional bioskop di antaranya jarak antarpengunjung sejauh minimal 1,5, meter hingga saat makan di tempat menonton film ini. Tak hanya itu, ia juga meminta pemerintah daerah memastikan jaga jarak juga dilakukan di tempat pusat kebugaran, yaitu minimal 2 meter.

"Pengawasan-pengawasan ini hanya bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Kalau terbukti ada yang melanggar, ya diberi sanksi," katanya.

Adapun, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai PSBB ketat di Jakarta yang diterapkan sampai 11 Oktober 2020 tidak efektif. Menurutnya, hal ini terjadi karena tidak sinkron dan harmonisnya kebijakan antara pemerintah pusat, DKI Jakarta dan daerah.

"Pandangan saya PSBB kemarin itu tidak efektif ya karena tidak sinkron kebijakan antara pemerintah DKI Jakarta dan pusat. Dan tidak harmonisnya DKI Jakarta dan daerah sekitar Bodetabek. Apalagi kalau diperpanjang di tengah situasi sosial-politik seperti ini tidak akan efektif," katanya saat dihubungi Republika, Ahad (11/10).

Kemudian, ia melanjutkan dalam beberapa waktu terakhir PSBB tidak efektif jauh sekali saat dibandingkan pada PSBB awal yaitu 10 April 2020. Hal ini terjadi situasi sosial dan politik yaitu Pilkada dan UU Cipta Kerja. Sehingga, DKI Jakarta tidak bisa mengendalikan kasus Covid-19.

Hermawan menyarankan penanganan Covid-19 berdasarkan pada kepedulian komunitas (comunnity based) itu lahir dari kepedulian masyarakat. Ia mencontohkan, jika ada salah satu orang di lingkungan  RT atau RW terkena Covid-19, lalu, masyarakat secara cepat menyiapkan satu rumah untuk isolasi mandiri orang yang terkena Covid-19. Dengan begitu mereka punya empati dan gotong royong serta menghilangkan stigma orang yang terkena Covid-19.

"Hal ini harus distimulasi oleh pemerintah. Harus ada kampanye masif. Lalu, ada tenaga kesehatan serta pengawasan penegakan pendisiplinan. Jadi, ini menjadi program dasarnya. Ada karang taruna dan majlis taklim. Mereka bisa bekerja sama," kata dia.

Ke depannya, Hermawan meminta pemerintah pusat maupun daerah memiliki kebijakan yang sikron dan harmonis. Jangan di DKI Jakarta menerapkan PSBB, di daerah Bekasi ramai masyarakat berkumpul di restoran atau kafe.

"Program community based harus dikampanyekan secara masif oleh pemerintah. Akhir-akhir ini jangan berharap pada PSBB, karena semua yang direncanakan dari awal akhirnya kacau saat masyarakat lakukan demo. Pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa," kata dia.

photo
Infografis Waspada Covid-19 di Restoran - (republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement