Sabtu 10 Oct 2020 23:16 WIB

KNTI Menilai Nelayan Pesisir Butuh Sosialisasi Batas Wilayah

Nelayan tradisional pesisir butuh sosialisasi agar terhindar dari kasus hukum

Buruh membongkar muat ikan tuna sirip kuning kualitas ekspor hasil tangkapan nelayan di Ulee Lheu, Banda Aceh. Kesatuan Nelayan Republik Indonesia (KNTI) Aceh menyatakan pemerintah perlu memberikan sosialisasi tentang pemahaman batas wilayah antar negara bagi nelayan tradisional di Aceh sehingga mereka terhindar dari kasus hukum berupa melewati batas negara lain saat melaut.
Foto: ANTARA/Irwansyah Putra
Buruh membongkar muat ikan tuna sirip kuning kualitas ekspor hasil tangkapan nelayan di Ulee Lheu, Banda Aceh. Kesatuan Nelayan Republik Indonesia (KNTI) Aceh menyatakan pemerintah perlu memberikan sosialisasi tentang pemahaman batas wilayah antar negara bagi nelayan tradisional di Aceh sehingga mereka terhindar dari kasus hukum berupa melewati batas negara lain saat melaut.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Kesatuan Nelayan Republik Indonesia (KNTI) Aceh menyatakan pemerintah perlu memberikan sosialisasi tentang pemahaman batas wilayah antar negara bagi nelayan tradisional di Aceh sehingga mereka terhindar dari kasus hukum berupa melewati batas negara lain saat melaut.

Ketua KNTI Aceh Azwar Anas, di Banda Aceh, Kamis, mengatakan bahwa perlu kerjasama antara PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pemerintah Aceh, dan pemilik boat atau kapal agar nelayan mengetahui jelas wilayah batas pengelolaan perikanan Indonesia.

"Ini agar nelayan kita memahami dan mengetahui dengan jelas batas Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 571 (meliputi Selat Malaka dan Laut Andaman) dan 572 (meliputi Samudera Hindia dan Selat Sunda), dengan wilayah laut negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia," kata Azwar.

Dia menjelaskan, umumnya nelayan daerah Tanah Rencong saat melakukan penangkapan ikan melitasi wilayah batas negara karena kapal atau boat mereka tidak dilengkapi dengan alat navigasi berupa GPS, peta laut, serta alat komunikasi yang tidak memadai.

"Selain itu meskipun sebagian ada yang membekali diri dengan alat tersebut dalam operasi penangkapan mereka, tetapi mereka menganggap bahwa perairan yang mereka jadikan fishing ground adalah masih wilayah Indonesia, maka perlu kerjasama dengan instansi terkait," ujarnya.

Beberapa hal yang menjadi bahan sosialisasi bagi nelayan, kata Azwar, sepertimengenai batas wilayah perairan, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia.

Seperti India, Thailand, Nyanmar dan Malaysia. Sekaligus penggunaan alat navigasi dan alat komunikasi yang memadai di kapal perikanan, kata Azwar lagi.

Menurutnya, perlu juga ditekankan untuk membangun kesadaran dan komitmen bersama nelayan agar tidak melintas batas wilayah negara lain, serta tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa izin.

"Karena yang sengsara mereka sendiri dan mereka banyak yang menunggung dan mengharap kepulangan mereka ke rumah," ujarnya.Sebelumnya, Kepala Dinas Keluatan dan Perikanan (DKP) Aceh Ilyas mengatakan selama ini pihaknya selalu memberikan sosialisasi kepada nelayan Aceh. Bahkan, kata dia, pada umumnya kapal motor nelayan tersebut juga telah dilengkapi navigasi dan alat pendukung lainnya.

“Sebenarnya kami DKP selalu melakukan pembinaan dalam arti kita melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sekali pun tahun ini dilanda COVID-19, kita tetap melakukan koordinasi dengan Panglima Laot (lembaga adat laut) di Aceh,” katanya, di sela-sela penyambutan 51 nelayan Aceh dari Thailand, di Banda Aceh.

Tugas DKP, lanjut Ilyas, melakukan pembinaan para nelayan Aceh agar saat melaut tetap mematuhi peraturan dan batas wilayah.

“Kita hari ini tidak menyalahkan nelayan, tapi yang jelas hari ini di laut lepas ini ikannya banyak, itu harus kita akui, dimana ikan yang banyak kan pasti kesitu. Harapan kita, kita tidak jenuh mensosilasasi dan pembinaan kepada nelayan kita,” ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement